Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Ulasan Buku "Cinta yang Berpikir"

20 Februari 2020   00:12 Diperbarui: 20 Februari 2020   00:34 1210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah dalam kegiatan renovasi rumah, saya membantu bapak mengambil batu bata, mengaduk pasir dan semen atau memegang selang air untuk mendapat permukaan yang rata. Bukannya mengajari saya teori pertukangan, bapak justru menuduh saya tidak becus saat melakukan satu-dua kesalahan kecil. Salah mengambilkan barang, misalnya. Atau tidak teliti saat memegang selang ukur. 

Padahal dari selang ukur, seharusnya saya belajar bahwa 1) Zat cair bisa menyesuaikan bentuk wadahnya, 2) Posisi air pada dua ujung selang transparan menampilkan ketinggian yang sama. Ilmu yang saya dapat dari sekolah terpisah dari keseharian saya. Orang tua saya termasuk kelompok manusia yang percaya bahwa satu-satunya lembaga belajar bagi anak adalah sekolah. Meski begitu, saya tak ada alasan menyalahkan mereka.

dokpri
dokpri
Cinta yang Berpikir, karya Elen Kristi merupakan buku filosofis yang menarik. Ellen meringkas pesan dalam buku ini dalam satu kalimat agar "Orang tua dan guru harus menjadi pendidik filosofis". Seorang pendidik perlu menjalankan tiga peran sekaligus, yaitu sebagai pembimbing, sahabat dan filsuf. Dua tugas pertama mudah dipahami. Namun, menjadi filsuf? Apa itu? Dan mengapa orang tua dan guru harus menjadi menjadi filsuf.

Filosofi berasal dari kata Yunani philea (cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Seperti anak kecil, para filsuf memiliki rasa takjub dan heran yang meluap-luap tentang alam semesta, manusia dan tentang apa saja di sekitarnya. Seseorang dengan semangat filosofis akan tekun merenungkan urusan-urusan mendasar dalam kehidupan. Pemikirannya mandiri. Tak perlu meraih jenjang doktoral untuk berpikir filosofis, karena anak-anak hadir di dunia sebagai filsuf. Takkan habis daftar pertanyaan mereka lontarkan secara kritis, kreatif, mendobrak batas-batas normatif orang dewasa. Itulah sebabnya mereka memerlukan pendidik yang juga filosofis.

Mengemban peran sebagai filsuf memang menantang, namun tidak sesulit kedengarannya (berdasar buku ini). Ciri seorang filsuf adalah selalu menjadi pembelajar. Jadi, dalam kesungguhan belajar menjadi orang tua---dan guru---yang lebih bijaksana kita bisa memiliki cinta yang berpikir.

Penutup dari saya. Tidak masalah apakah anak kita akan dititipkan di sekolah formal atau informal. Tidak perlu juga mendebatkan mana yang lebih baik, homeschooling atau sekolah formal. Yang paling penting adalah orang tua mengerti sepenuhnya, gaya belajar seperti apa yang dibutuhkan anaknya.

Mari mencintai dengan berpikir.

Referensi:

* Charlotte Mason Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun