Bagaimana jika sejak pertemuan pertama murid, eh siswa, eh peserta didik (bodo amat mau diganti-ganti sebutannya, tidak menentukan kelulusan, kok!) langsung bosan? Saya harus melakukan persiapan khusus, rela pulang belakangan demi mempersiapkan pelajaran esok hari. Rupanya, hal tidak terduga saya temukan dari murid-murid.
Anak sekarang malas menulis
Netijen Indonesia gemar berbagi hoaks karena malas membaca. Jangan tanya kenapa murid zaman now malas kalau guru dan orang tua saja enggan. Membaca ogah, apalagi menulis. Jangan kira beban ini hanya milik sekolah karena "Kami (orang tua) sudah membayar mahal".
Anak diajari membaca-menulis-berhitung-menalar di sekolah. Saya setuju. Namun, proses ini harus diimbangi agar tidak kalah dengan Instagram, Youtube, PUBG atau konten digital lain yang akses dan pengaruhnya lebih kuat saat anak di rumah. Masih berani menyalahkan sekolah?
Menurut buku mendikbud, pada pembelajaran ke-2 salah satu langkah pembelajaran "Ayo Mengamati" kegiatannya yaitu "Siswa menyajikan dan mengomunikasikan hasil pengamatannya secara tertulis ke dalam kolom yang tersedia pada buku siswa".
Sedangkan sekolah kami menggunakan buku BUPENA (BUKU PENDAMPING K13 Penerbit Erlangga) karena kelamaan jika menunggu dari pemerintah. Strateginya, saya kombinasikan BUPENA dan buku elektronik dari pemerintah.
Saya membagi murid menjadi 3 orang tiap kelompok. Setiap kelompok saya berikan satu lembar berisi rangkaian gambar, dengan kolom kosong di bawah setiap gambar. Tugas mereka adalah menuliskan cerita bebas tapi sesuai dengan gambar.
Saya was-was kalau pembelajaran ini tidak berhasil. "Setiap kelompok wajib menceritakan tiap gambar dalam minimal 3 kalimat." Perintah ini nampak terlampau berat bagi mereka.
Dua puluh menit kemudian...
Dengan sedikit stimulus, mereka bisa mengembangkan rangkaian gambar menjadi cerita. Saya bangga!