Siapa yang tidak bangga jika anaknya bisa masuk sekolah favorit. Selain fasilitasnya lengkap, jaminannya adalah berpeluang besar masuk perguruan tinggi negeri (yang juga favorit). Pertanyaannya, apakah yang belajar di sekolah bukan favorit tak bisa meraih impian? Orang nomor satu di negeri ini memegang kuat amanat ayahnya, dimanapun sekolahnya asal belajar sungguh-sungguh pasti berhasil meraih impian.
Alangkah bijak jika sebelum meratakan pendidikan pemerintah secara bertahap menghapuskan label favorit non-favorit dan memfavoritkan semua. Yang berarti semua sekolah memiliki kualitas yang sama, setidaknya minim kesenjangan.
Favoritisasi semua sekolah harus dilakukan dengan perencanaan terstruktur dan menyeluruh (dan saya yakin tidak selesai dalam satu periode jabatan mentri); bukannya menerapkan zonasi lalu bim salabim terjadi pemerataan. Logika berpikirnya terbalik menurut saya.
Daripada pemerataan, menurut saya frasa yang lebih tajam adalah keadilan, tidak memihak. Artinya, entah di Jawa atau luar Jawa, di kota atau desa, harusnya mendapat porsi dan perhatian yang adil dari pemerintah.
Adanya penerapan kebijakan zonasi menyebabkan pihak orang tua merasa ruang gerak anaknya dibatasi untuk memilih sekolah dambaan, padahal berprestasi. Salah satu orang tua mengeluhkan anaknya meraih nilai ujian cukup tinggi tidak bisa diterima di SMA yang diinginkan---yang tentu saja favorit!---karena tempat tinggalnya berada di luar zona yang masih satu kota.
Sedangkan anak lain yang tinggal di kawasan kota, yang nilainya biasa saja, otomatis diterima. Pemerintah hendaknya ingat stigma yang melekat di masyarakat, "Nilai (angka) menjadi penentu masa depan".
Saya pribadi sepakat, angka bukan satu-satunya penentu, tapi setidaknya menjadi filter penerimaan peserta didik supaya mereka juga makin termotivasi untuk giat belajar. Buat apa aku belajar, les sana-sini kalau dengan nilai seadanya bisa diterima di sekolah unggul. Apa komentar pemerintah? Berikutnya pendidik yang akan disusahkan karena motivasi belajar anak menurun.
Terlepas dari label favorit, setiap anak berhak memilih ingin sekolah dimana. Dia juga berhak mendapatkan lingkup pergaulan yang lebih luas, tidak hanya di sekitar tempat tinggalnya.
Lucunya lagi, dari keterangan diskominfo, dengan diberlakukannya sistem zonasi akan kelihatan daerah mana yang masih kelebihan atau kekurangan murid dan guru, akan dilakukan rotasi guru, dst. Mengapa harus dibuat zonasi dulu baru didapatkan data? Kenapa harus dizonasi dulu baru dilakukan rotasi? Logika berpikirnya terbalik lagi.
Kiranya pak menteri dan jajarannya mengkaji ulang kebijakan ini sebelum bertambah daftar protes dari masyarakat. Sampai-sampai ada selentingan netizen supaya mengganti mentri yang tahu pendidikan.