Seperti halnya anak sekolah, mustahil pendidikan nasional tak punya Pekerjaan Rumah untuk diselesaikan. Ganti menteri ganti kurikulum (yang berarti ganti juga buku cetaknya), pro-kontra dihapusnya Ujian Nasional, kebocoran soal UN, sampai yang paling hangat, sistem zonasi.
Sebagai komentator yang mengangkat diri sendiri, jari tangan saya gatel untuk tidak mengetik isu pendidikan. Maka, pembaca yang budiman, harap dimaafkan jika ke-sok tahuan saya mengakibatkan merah telinga.
Perkembangan teknologi yang demikian gencar mengimbas pada banyak bidang, tak terkecuali pendidikan. Adakah pendidikan kita sudah berkembang sejalan usia zaman? Apakah langkah pemerintah (mendikbud) dalam membuat kebijakan selama ini sudah bijak? Sebut saja UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer).
Nasional loh ya, berarti berlaku di semua sudut nusantara. Dari sharing beberapa rekan panitia UNBK, mau masuk ke server saja seret, menjelang subuh baru bisa. Di Jawa loh ini, tak perlu dibahas daerah 3T. Saya khawatir, mendikbud latah dengan teknologi sehingga kebijakan nasional tidak benar-benar siap dikatakan nasional.
Zonasi menjadi isu menarik sejak diterbitkan pada 2017. Demi pemerataan pendidikan, katanya. Yakin? Tapi kok menyebabkan ribut...? Dua tahun dinasionalisasi, dampak kebijakan ini mencuat ibarat gunung meletus: banyak protes dari orang tua yang khawatir anaknya tak bisa masuk sekolah favorit.
Jika kembali disinggung teknologi, aplikasi Azimuth yang digunakan panitia PPDB untuk mengukur jarak tempat tinggal anak ke sekolah tidak masuk akal, yaitu di tengah samudra. Ini orang tua yang salah menuliskan alamat, atau aplikasinya yang eror? Tidak mungkin kesalahan terletak pada petugas, karena sudah kenyang dengan pelatihan dari pemerintah!
Sebelum melanjutkan lomba protes tentang alotnya sistem zonasi, baiknya kita memperhatikan beberapa poin berikut.
*Sekolah favorit-nonfavorit
Predikat "favorit" yang disematkan pemerintah telah mengakar dan berkembang biak di masyarakat. Wajar, orang tua lalu mahir memilah yang favorit dari yang bukan untuk anaknya.
Gengsi barangkali, jika anaknya tak masuk sekolah favorit. Kondisi bangunan, sarana-prasarana, kualitas tenaga pengajar, prestasi sekolah, sampai profil lulusan merepresentasikan predikat yang dimaksud.
Daftar itu juga yang akan dinilai saat akreditasi sekolah. Berikutnya, yang disebut favorit akan mendapat kucuran dana untuk pembangunan dan pengembangan. Yang maju makin berkualitas, yang terbelakang makin tertinggal (baca: daerah 3T).