Kesalahan berikutnya yang (tanpa sadar) dilakukan seorang guru adalah, mematikan rasa ingin tahu anak. Jika anda gurunya, apakah anda akan tersinggung pada sikap murid tersebut? Seolah-olah dia lebih memperhatikan apa yang dia liat di TV daripada apa yang anda sampaikan di kelas. Jika ada anak yang cerewet, yang banyak bertanya di kelas anda, namun arah pertanyaannya jauh, bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan materi, apa reaksi anda? Memarahinya? Mengabaikannya? Atau meladeninya? Iya kalau anda tahu jawabannya? Nah, kalau tidak? Seharusnya kita bisa memberi pengertian kepada anak semacam ini. Kita bisa menjawab dan berdiskusi dengannya pada waktu istirahat, atau waktu setelah selesai pelajaran sekolah. Pembelajaran di kelas anda tetap berjalan, si anak juga merasa didengarkan.
Ngomong-omong, saya kok lebih menyukai tipe anak yang seperti ini, memiliki rasa ingin tahu dengan “ide liar” dibanding anak yang biasa-biasa saja, yang pendiam, pemalu lagi (jujur, saya dulu sejak SD sampai SMA pun begitu. Pendiam, polos, dan tidak mudengan (sulit untuk mengerti) pula, haha).
Kembali ke siswi saya. Meski nilai akhir ulangannya tidak mencapai nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), saya tidak akan menghakimi bahwa dia tidak pintar. Saya percaya Tuhan menciptakan setiap anak dengan kemampuan yang berbeda-beda, dan unik. Biar saja dia lemah di IPA, mungkin dia memiliki minat di bidang lain yang lebih menonjol. Percaya atau tidak, nilai UN SMA saya untuk mapel fisika adalah 50, dan saya menjadi guru IPA saat ini. Aneh? Tidak adil? Beruntung? Tidak. Saya hanya mendapat sebuah kesempatan. Setiap kita berhak mendapat kesempatan untuk berjuang.
Mengapa bunglon? gara-gara bunglon saya mengira siswi saya salah dan menganggap diri saya yang paling benar, paling tahu sebagai guru. Gara-gara bunglon saya belajar bahwa saya harus melakukan eksplorasi lebih dalam pada pembelajaran yang saya lakukan. Dan gara-gara bunglon, saya menyadari bahwa saya perlu untuk terus belajar, belajar dan belajar, bahkan dari murid-murid saya.
Apakah sebagai pribadi anda juga terus belajar?
Kris Wantoro, di Salatiga, Desember 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H