Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gara-gara Bunglon

28 Desember 2016   10:03 Diperbarui: 6 Juli 2019   12:04 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: jawaban ulangan siswi saya, dokumentasi pribadi

Dalam falsafah Jawa, guru merupakan akronim dari digugu lan ditiru,yang artinya dipercaya dan diteladani. Guru juga profesi yang amat disegani oleh masyarakat sebagai sosok yang “mahatahu”. Mereka dipuja dan disanjung karena dianggap berintelektual, terhormat dan berjasa dalam mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Saya pernah dicubit guru olah raga saat saya SMP karena terlambat masuk kelas setelah ganti baju. Mencubitnyapun tidak tanggung-tanggung, di puting. Sakit sekali rasanya.

Terkesan kejam, namun kemudian saya sadar hal itu merupakan salah satu tindakan guru saya untuk mendisiplin saya. Iitu dulu. Bandingkan kondisinya saat ini. Bukan lagi dihormati, justru ada kejadian dimana ayah dan murid mengeroyok gurunya. Penyebabnya juga sepele, yaitu sang murid bertindak tidak disiplin. Jika tindakan mendisiplin adalah salah satu kewajiban guru sebagai pendidik, mengapa justru dilawan dengan kekerasan fisik? Waktu berlalu, zaman bergeser, hidup terus berlanjut.

Saya adalah seorang guru IPA di sebuah SMP swasta di Surabaya. Baru seumur jagung memang masa kerja saya. Jadi belum banyak pengalaman yang saya miliki. Kesalahan, kebingungan dan ketidaktahuan tentu menjadi hal yang lumrah.

Suatu hari seorang siswi saya mengerjakan ulangan susulan, karena pada waktu pelaksanaan dia sakit. Anak-anak pada umumnya perlu paling tidak 60 menit untuk mengerjakannya, namun siswi saya ini hanya perlu ± 30 menit, wow.

Keesokan harinya, saya demikian terkejut mendapati jawaban siswi saya.

Materi ulangan saat itu adalah Ciri-ciri Makhluk Hidup. Pada bagian pertama dari soal ulangan, mereka diminta untuk melengkapi tabel yang kosong dengan pernyataan yang tepat.

Dari gambar tersebut, seandainya anda yang mengoreksi, bagaimana respon anda?

Pada pembelajaran di dalam kelas, saya menyampaikan bahwa salah satu ciri makhluk hidup adalah beradaptasi (iritabilita), contohnya bunglon dapat mengubah warna kulitnya menyesuaikan benda di sekitarnya (guru SD anda juga mengajarkan demikian, bukan?).

Murid saya ini justru menjawab gurita. Wah, ngawur anak ini. Mana ada gurita yang bisa mengubah warna kulitnya? Lagipula, murid saya yang satu ini tidaklah terlalu menonjol di kelas. Kemudian saya berkesimpulan: jawaban murid saya salah. Karena gemas, saya segera mencoret jawaban murid saya dengan bolpoin merah, dan memberikan komentar “bunglon keles”. Agak lebay memang komentar saya. Saya kemudian memotret jawaban siswi saya tersebut dan menjadikannya sebagai foto profil di BBM. Dan DP saya segera menuai kritik dari beberapa teman saya. Salah satunya dari teman guru matematika yang mengajar di Jakarta. Dia menegur saya karena cara menilai saya yang subjektif dan teledor. Dia memberitahu, mungkin saja jawaban murid saya benar. Dari kesaksian teman saya, pada sebuah film kartun ada gurita yang bisa berkamuflase. Tidak cukup di situ, dia mengirimkan screenshoot dari internet tentang gurita yang memang bisa berkamuflase. Astaga.

Foto: Mimic Octopus, screenshoot oleh IP
Foto: Mimic Octopus, screenshoot oleh IP
Di sinilah saya mendapati kesalahan terbesar seorang guru adalah ‘merasa’ paling tahu, dan berhenti belajar. Ya, berhenti belajar. Untuk apa kita belajar jika sudah tahu, mungkin itulah alibi kita. Namun, jangan sampai salah, bahkan dari murid-muridpun kita dapat belajar!

So, am I wrong? No. Or Yes! Saya kudet (kurang update). Jangan kira kita—guru—menjadi satu-satunya sumber informasi bagi murid. Di abad 21 ini kemampuan mereka berselancar di dunia maya bahkan mengungguli kita. Sebagai generasi yang dilahirkan pada era global, mereka mendapat akses lebih luas untuk mengeksplorasi rasa ingin tahunya. Saya mengikuti beberapa akun sains di Instagram. Ada kaitannya dikit-dikit lah ya dengan IPA. Namun, jujur saya kurang cakap dalam memberikan contoh eksplorasi kepada anak didik saya. Saya begitu picik.

Waktu itu hari Kamis, jam mengajar saya lebih sedikit dibandingkan hari lain. Pada istirahat pertama saya memanggil siswi saya melalui mic sentral di ruang Tata Usaha. Tidak lama kemudian dia datang kepada saya. Saya tunjukkan hasil jawabannya, lalu menanyakan, mengapa ia membuat jawaban demikian. Dengan kepolosan anak SMP, dia mengaku tanpa niat berbohong. Dia pernah menyaksikan tayangan di TV, ada gurita yang dapat berkamuflase, lalu dia iseng mencarinya di Youtube. Plaaaakkk....! Seperti mendapat tamparan keras, saya merasa sangat malu. Siswi saya ini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada sesuatu, dan dia berusaha mencarinya. Hanya saja, rasa ingin tahunya tidak nampak saat pembelajaran di dalam kelas. Akibatnya, saya salah memberikan penilaian padanya.

Kesalahan berikutnya yang (tanpa sadar) dilakukan seorang guru adalah, mematikan rasa ingin tahu anak. Jika anda gurunya, apakah anda akan tersinggung pada sikap murid tersebut? Seolah-olah dia lebih memperhatikan apa yang dia liat di TV daripada apa yang anda sampaikan di kelas. Jika ada anak yang cerewet, yang banyak bertanya di kelas anda, namun arah pertanyaannya jauh, bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan materi, apa reaksi anda? Memarahinya? Mengabaikannya? Atau meladeninya? Iya kalau anda tahu jawabannya? Nah, kalau tidak? Seharusnya kita bisa memberi pengertian kepada anak semacam ini. Kita bisa menjawab dan berdiskusi dengannya pada waktu istirahat, atau waktu setelah selesai pelajaran sekolah. Pembelajaran di kelas anda tetap berjalan, si anak juga merasa didengarkan.

Ngomong-omong, saya kok lebih menyukai tipe anak yang seperti ini, memiliki rasa ingin tahu dengan “ide liar” dibanding anak yang biasa-biasa saja, yang pendiam, pemalu lagi (jujur, saya dulu sejak SD sampai SMA pun begitu. Pendiam, polos, dan tidak mudengan (sulit untuk mengerti) pula, haha).

Kembali ke siswi saya. Meski nilai akhir ulangannya tidak mencapai nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), saya tidak akan menghakimi bahwa dia tidak pintar. Saya percaya Tuhan menciptakan setiap anak dengan kemampuan yang berbeda-beda, dan unik. Biar saja dia lemah di IPA, mungkin dia memiliki minat di bidang lain yang lebih menonjol. Percaya atau tidak, nilai UN SMA saya untuk mapel fisika adalah 50, dan saya menjadi guru IPA saat ini. Aneh? Tidak adil? Beruntung? Tidak. Saya hanya mendapat sebuah kesempatan. Setiap kita berhak mendapat kesempatan untuk berjuang.

Foto: bunglon by: Tjetjep Rustandi
Foto: bunglon by: Tjetjep Rustandi
Semua gara-gara bunglon.

Mengapa bunglon? gara-gara bunglon saya mengira siswi saya salah dan menganggap diri saya yang paling benar, paling tahu sebagai guru. Gara-gara bunglon saya belajar bahwa saya harus melakukan eksplorasi lebih dalam pada pembelajaran yang saya lakukan. Dan gara-gara bunglon, saya menyadari bahwa saya perlu untuk terus belajar, belajar dan belajar, bahkan dari murid-murid saya.

Apakah sebagai pribadi anda juga terus belajar?

Kris Wantoro, di Salatiga, Desember 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun