DUA ANGSA DAN SI PENGAYUH GONDOLA
: Johan Sebastian Bach (1685 -- 1750)
Dari atas gondola kulihat teka-teki puisi,
dua angsa yang saling melempar pandang,
berenang bersama dalam satu haluan.
Tersenyum, kusimpan makna yang tersembunyi hari ini.
Di sisa hujan Oktober, pelukan terakhir mengungkap takdir.
Gerak lamban nan anggun, kulhat cinta di mata kedua angsa.
Rasa sayang yang segar dan indah. Ini bukan metafora.
Kulihat juga bayang duda menerpa wajah. Dalamnya luka yang telah memaku wajah kaku sang pengayuh.
Tak ada lagi yang dia buru, katanya.
Selain kematian yang dia ingin dan tunggu.
Di atas langit burung Nasar, pemankan bangkai menyaru.
Kini baru kuyakin dan rasakan atas kuasa cinta yang besar.
Jam demi jam serupa nyala api yang cepat membakar.
Hei sang pengayuh, jika kamu mati, akankah ada dua bola mata dua angsa yang menangisi.
Nasib baik dan buruk bagai budak di tangan para kekasih.
Akhirnya, harus ada yang menghabisi. Dengan pedang sendiri aku memutus nadi.
Cara mati yang megah dalam tiap gubahan Bach.
Â
(2017)
Puisi ini dimuat dalam Buku Puisi Tunggal "Blue Rhapsody"
Wans Sabang, penikmat sastra dan film asal Jakarta. Tulisannya sempat dimuat beberapa media dan sejumlah antologi puisi dan cerpen bersama. Kini tinggal di Bogor, bergiat di sastra dan penulisan naskah film.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H