Membaca Tanda
Cerita Eko Pujiono
Â
Cerita ini aku sulam setelah empat belas purnama berlalu tanpa kusadari. Namun, angin tenggara yang kering itu telah menamparku, menyadarkanku untuk mengingatmu (lagi). Inilah cerita ingatan itu yang telah usang di sudut-sudut terjauh, namun masih melekat erat dalam satu kata: janji.
Benar, aku tak akan bisa melupakan janjiku kepadamu. Janji, bagiku, seperti mentari yang pergi menjauh setelah menyilaukan mata dan menghangatkan bumi, lalu menghilang ditelan malam, namun akan datang kembali dan menyapa: selamat pagi.
Mudah-mudahan kamu masih ingat dengan suatu pagi yang dingin di suatu tempat yang sama kita singgahi. Meski beberapa jam sebelumnya kita bersama, namun moment pagi itulah yang aku ingat. Aku ingat senyum keceriaan itu meluncur ikhlas memasuki bola mataku dan meracuni otakku. Aku yakin senyuman itu tak ada yang lain di dunia ini. Hanya milikmu. Mungkin, itu adalah senyum yang khusus dianugerahkan kepada Tuhan kepadamu supaya dapat kunikmati di pagi itu.
Aku tidak sedang mabuk kok, apalagi mabuk oleh sebuah senyuman. Tidak, tidak. Hanya saja aku sedang menikmati senyuman yang bagiku merupakan penjelmaan dari pribadi yang optimis. Ya, aku mengagumi senyuman itu, senyuman yang memancar dari pemilik optimisme yang luar biasa.
Baiklah akan kumulai cerita ini. Bukan cerita tentang pemilik senyum optimis itu. Ini cerita adalah cerita ini.
***
Di suatu tempat yang sangat indah, dia menari-nari, bersenandung dan tertawa. Kau pasti akan terlena. Kecantikannya, kelincahannya, keakrabannya, kebaikannya dan kebahagiaannya. Itu semua adalah miliknya yang melenakan siapapun, termasuk kamu. Hanya saja dia tidak bisa menipu diriku. Aku sendiri bisa melihat dengan sangat jelas jalur perairan air mata di pipinya, goresan-goresan kesedihan di antara senyum manis yang mekar, sayup kesendirian di dalam bola matanya yang berbinar. Tahukah kamu di sudut bibirnya terdapat luka yang akan terasa sakit saat mengucapkan satu kata: cinta.
Aku memang tak bisa membayangkan rimbunnya hutan Kalimantan, sungai-sungai yang berliku, jalanan yang panjang dan dirimu. Aku hanya bisa menikmatinya dalam angan-angan dan pikiran liar.Â