Pemikiran berlatar digital marketing dengan mengangkat isu kultural tak selamanya dipersepsi positif oleh masyarakat, apalagi ketika pemikiran itu bersinggungan dengan nilai-rasa dan sensitivitas emosi umum semisal bersinggungan dengan nilai ajaran keagamaan. Kasus situs nikahsirri.com yang sempat menghebohkan publik itu tak selayaknya menjadi heboh beneran jika penggagas "ide kreatif" ini, pemilik situs tersebut, Aris Wahyudi (AW) menempatkan ide cerdasnya yang "mendahului jaman" itu, tetap dalam koridor kepatutan sosial. Ada ketidaknyambungan logika antara AW dengan publik.
Memahami Cara Pandang Masing-Masing
Tulisan ini menyoroti perbedaan cara pandang antar generasi-pemikiran, lintas isi kepala, melihat secara netral tanpa bermaksud memberi justifikasi apapun, antara pemilik situs yang ber-pemikiran kreatif dan mindset entrepreneur dengan kacamata digital marketing, dengan publik yang menggunakan kacamata nilai-nilai moral dan sosial bahkan agama. Memang susah nyambung-nya, namun masing-masing pihak mengusung "nilai kebenaran" yang diyakininya.
Baik, kita runut "nilai kebenaran" masing-masing pihak tersebut (AW dan publik), dan bagaimana mempertemukannya.
Kita amati praktik sosial di masyarakat kita. Suatu kegiatan baik perseorangan maupun agensi yang memfasilitasi pertemuan di antara para peminat, sehingga suatu "transaksi" bisa terlaksana, atau populer disebut praktik brokerage atau mediasi telah terjadi di masyarakat kita. Kita mengenal praktik makelar, calo, broker, mediator, dan sebutan-sebutan lain yang merujuk pada fungsi pemerantara antar peminat. Tentang manfaat ekonomi di balik aktivitas brokerage atau pemerantaraan, penyelenggara mengutip semacam "uang jasa" atas jasa pemerantaraan yang dilakukannya, juga telah lazim dikenal dan dilakukan para agensi.
Tentang penggunaan media produk teknologi informasi (TI). Aktivitas mediasi, brokerage, dan aneka praktik dan aktivitas transaksional yang melibatkan "para peminat" dilakukan berbasis TI, praktik transaksi online pun telah dikenal masyarakat kita.
Sekarang tentang konten yang dimediasi atau katakanlah "produk layanan", yakni nikah sirri. Kita juga telah akrab dengan praktik  nikah sirri di masyarakat dan pemberitaan tentangnya. Memang pro dan kontra (dengan argumen masing-masing) telah terjadi di seputar nikah sirrisecara kultural (offline) dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu semisal konsekuensi hak secara hukum, waris, status anak, pihak perempuan, dsb, yang merupakan aspek sosial, dan wajar jika diatur oleh negara dengan pencatatan, sehingga muncullah istilah "nikah resmi" (menikah secara agama dan dicatat oleh negara) dan "nikah sirri" (sirri berarti "tersembunyi, rahasia") yakni menikah secara agama tanpa dicatat oleh negara. Di sinilah letak pro -- kontra itu.
Saya tak hendak membahas pro-kontra-nya, namun bertolak dari fakta sosial bahwa "praktik nikah sirri itu ada" di masyarakat kita. Dan praktik kultural ini dilembagakan dengan penyajian yang berparadigma bisnis, digital marketing. Nah, terasa kan, aroma "melawan nilai kepatutan sosial"? Ini yang dilakukan oleh situs nikahsirri.com.
Dalam konteks menjembatani kebutuhan para peminat yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi (TI), sebenarnya situs nikahsirri.com sebagai sebuah layanan jasa pemerantara, dalam perspektif atau cara pandang "ekonomi modern digital, digital marketing" merupakan hal biasa saja, sedangkan dari sisi pemasaran sosial, bisa dianggap sebagai sebuah terobosan atau inovasi pemasaran sosial yang cerdas.Â
Namun, cara pandang modernis semacam ini, seringkali bertabrakan dengan nilai-nilai sosial yang dianut masyarakat di mana "inovasi" itu dikembangkan.Â