Mohon tunggu...
Wawan Kuswandoro
Wawan Kuswandoro Mohon Tunggu... -

Pegiat Diskusi Publik "Wacana Kita", Peminat Politik Lokal, Rekayasa Politik & Human Factors

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Awas Bahaya Laten Janji Kampanye!

1 Oktober 2017   10:18 Diperbarui: 1 Oktober 2017   18:01 1745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[Catatan Pinggir Pilkada Serentak 2018] - Janji kampanye adalah sebuah kemasan bahasa untuk menyampaikan pesan kampanye kandidat kepada calon pemilih. Kandidat seakan berada dalam persimpangan jalan yang cukup dilematis: antara mengemas pesan kampanye yang mudah dipahami, dengan gaya kampanye populis dan gaya kampanye programatik, yang berisiko sulit dipahami calon pemilih di segala lapisan. Seringkali kandidat terjerumus dalam praktik "janji kampanye bombastis" yang ia sendiri sulit memenuhinya setelah terpilih. Tulisan ini mencoba mengakurkan perbedaan cara pandang atau tafsir janji kampanye dalam pandangan kandidat dan dalam pandangan masyarakat pemilih, sekaligus menjembatani kegalauan kandidat terpilih dan kegalauan masyarakat pemilih: pemenuhan janji kampanye dan penjagaan citra populisnya (pilihan rasional kandidat) tanpa mencederai harapan dan kepentingan masyarakat pemilihnya.

Jelang pilkada serentak 2018 yang bakal diikuti oleh 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten telah menyibukkan elemen-elemen terkait dalam skala masif. Partai mulai sibuk penjajagan koalisi dan tawar-menawar pengajuan pasangan calon, menunggu rekom dari pengurus pusat, bakal calon merapat dan mendaftar ke partai sambil meng-"kampanye"-kan diri melalui alat peraga maupun mendekati calon pemilih dengan berbagai modus. Para pemain politik di luar peserta pilkada pun mulai ancang-ancang. 

Sementara masyarakat calon pemilih, yang telah terlatih di beberapa kali pemilu dan pilkada, masih tampak adem ayem karena "sekarang belum saatnya" tawar-menawar dukungan politik dengan slogan sakti "vox populi vox dei" (suara rakyat suara Tuhan): tanpa kami, kalian bukan apa-apa. Inilah power laten pemilih yang membuat kandidat harap-harap cemas, sehingga harus mengeluarkan jurus kampanye  yang selaras dengan selera masyarakat pemilih untuk merebut hati calon pemilih. Muncullah "janji kampanye" yang kelak menuai tagihan publik yang bisa membawa sang kandidat terpilih dalam dua pilihan: mampu memenuhi yang berujung tabungan politik positif; ataukah kesulitan memenuhi dengan konsekuensi tabungan politik negatif. 

Dua kemungkinan ini terkait dengan strategi penyampaian pesan kampanye: mudah dipahami calon pemilih dari segala lapisan ataukah sulit dipahami. Janji kampanye inilah yang sering mengalami tafsir berbeda antara kandidat dan pemilih. 

Nah, di sinilah saya mencoba menjembatani "tafsir dua dunia" ini dengan membatasi pada fenomena "janji kampanye" sebagai strategi penyampaian pesan kampanye, bukan sebagai faktor determinan pemenangan kandidat. Eskalasi masif pilkada serentak berpotensi memicu kehebohan publik dalam waktu bersamaan terkait tafsir atas janji kampanye ini.

Kampanye Populis vs Programatik

Dalam benak masyarakat, kepala daerah yang baik dan disukai, adalah yang memberi kemanfaatan dengan ukuran kedermawanan. Pendidikan gratis, kesehatan gratis, akses lapangan kerja, bantuan untuk warga miskin, dan sejenisnya akan menjadi harapan masyarakat umum, dan bisa menjelma menjadi isu populis dalam kampanye kandidat yang dipadu dengan atribut kesalehan dan kedermawanan sosial, baik hati, suka menolong dan merakyat. Isu tersebut menjadi sangat seksi dalam kampanye kandidat. Dan agar mudah dipahami oleh masyarakat dari semua lapisan, strategi kampanye dikemas dalam bahasa sederhana yang memudahkan pemahaman segala kalangan. Di sinilah terjadi dilema antara kampanye populis dan programatik.

Kampanye populis meletakkan pesan politiknya dalam "narasi awam", membonceng alur pemahaman masyarakat umum yang membingkai penyampaian program secara lisan dan tulisan hingga atribut dan kegiatan yang "bernuansa kerakyatan". Pernyataan dan bahasa program yang dikampanyekan pun dikemas dalam bahasa yang mudah dipahami siapapun dan tentunya dibuat menarik, sehingga muncullah bahasa kampanye yang tampak "memenuhi hajat hidup orang banyak" dan sangat menjanjikan. Yang penting klik di otak pemilih. 

Keunggulan strategi populis yang pas dengan selera pasar, tidak selalu mulus untuk dibahasa-program-kan dalam implementasi karena berkaitan dengan variabel teknis birokratis semisal anggaran, prioritas, keterkaitan dengan program terdahulu hingga administrasi dan aparatus birokrasi. Ini belum memperhitungkan perubahan orientasi sang kandidat ketika jabatan diraih.

Sedangkan kampanye programatik berorientasi ekspos program, lebih membutuhkan pendekatan edukatif publik dalam penyampaiannya, berisiko untuk tidak mudah dipahami masyarakat dari segala lapisan sehingga rawan tidak nyambung. Meski dikemas dengan "bahasa  rakyat", terakhir jatuhnya tetap pada gaya populis atau semi populis juga. 

Contoh, mengkampanyekan program kesehatan murah akan lebih klik di masyarakat dengan membuka posko pengobatan gratis ketimbang memberi penjelasan tentang program kesehatan. Masyarakat lebih akrab dengan aksi nyata dengan manfaat langsung dengan persepsi peduli rakyat disertai harapan berkelanjutan ketika menjabat. Konten visual dan yang dapat dirasakan akan lebih mudah ditangkap otak ketimbang konten verbal yang memerlukan pemahaman ekstra. Orang akan mudah berkesimpulan:"Jika saat kampanye sudah begini, nanti pasti akan lebih mantap". Kira-kira demikianlah suara hati masyarakat. Jurus kampanye populis terbukti ampuh menjadi "kata pengantar" dalam pemenangan banyak kepala daerah.

Dilema Realisasi Janji Kampanye dan Tabungan Politik

Realisasi janji kampanye adalah upaya menjembatani bahasa kampanye (bahasa awam) dengan bahasa program (teknis birokratis). Kampanye populis membutuhkan "terjemahan" dan penyesuaian serius dalam pelaksanaannya. Memang, menyelaraskan dan menempatkan program pemerintah pada suara publik akan cenderung mempermudah penjangkauan program kepada khalayak dengan lebih tepat guna dan tepat kebutuhan sasaran. Namun, pemilihan langsung telah menciptakan dilematik dan mampu menggeser orientasi sang kandidat terpilih untuk tetap melestarikan kekuasaannya. 

Pilihan antara "ingin mengefektifkan capaian program untuk masyarakat"(realisasi janji kampanye) dan "ingin tetap melekat di hati masyarakat" (orientasi pelestarian kekuasaan) akan berebut tempat dalam prioritas misi sang kandidat, sejak masa kampanye hingga menjabat. Pilihan rasional seorang kepala daerah terpilih akan lebih mengarah pada "pemeliharaan kemelekatan nama"yang memiliki efek daya elektoral berkelanjutan dan tabungan politik yang bisa diwariskanapabila ia tidak bisa mencalonkan lagi. Efek yang muncul kemudian adalah, pertama, prioritas program populis bernuansa bantuan sosial dalam performa program pemerintahnya.

Kedua, terjangkitnya sindrom Supermania, yang berkecenderungan "narsis politik" yang berimbas kepada pilihan strategi kepemimpinannya dalam mengelola birokrasi pemerintahannya.  Ia cenderung membatasi peran publik pejabat yang dinilainya memiliki potensi politik. Distribusi tugas dan efektivitas birokrasi menjadi rawan mengalah demi penyelamatan kepentingan politiknya yakni pelestarian kekuasaan dan jabatannya. Pilihan dilematis ini senantiasa membayangi kepala daerah dalam mengelola pemerintahannya.

Tetap Populis dengan Program Efektif

Kepala daerah secara politis berfungsi mengarahkandan mengendalikan program pemerintahnya secara internal melalui efektivitas kinerja birokrasi dan eksternal, berhubungan dengan elemen non-pemerintahan. Dengan asumsi prioritas program yang "sejalan dengan kehendak rakyat" tadi maka ada beberapa strategi yang dapat dipilih oleh kepala daerah agar tetap dapat merealisasikan janji kampanye dengan program efektif dan tetap populis.

Pertama, mengefektifkan mesin birokrasi pemerintahannya dengan pemfokusan program secara terintegrasi antar satuan kerja.

Kedua, inovasi pelayanan publik selaras dengan visi daerah untuk melandasi poin pertama.

Ketiga, memberdayakan potensi lokal: aset daerah, sumberdaya alam, SDM warga, institusi dan jejaring sosial, media massa, modal sosial, modal kultural, dsb untuk bersinergi dengan birokrasi pemerintahannya untuk mendukung poin pertama dan kedua.

Keempat, membina dan memperkuat jejaring eksternal. Secara politik, kepala daerah berada pada fungsi tersebut.

Maka, kepala daerah yang seperti apa yang mestinya dicari? Dia, yang bisa menjalankan fungsi-fungsi tersebut! Maka modal apa yang harus dimiliki oleh seorang kandidat kepala daerah?

Pertama dan utama:wawasan inovasidan kreativitas. Kedua,kemampuan mengorganisasi segenap elemen dan kepentingan, baik internal yakni organisasi pemerintahan, mesin birokrasi maupun eksternal yakni elemen di luar organisasi pemerintahan. Ketiga,kemauan politik dan keberpihakan kepada masyarakat. 

Bisakah? Tergantung pengusungnya dan rakyat pemilik suara: suara rakyat suara Tuhan ataukah suara rakyat suara amplop.

Diskusi Publik
Diskusi Publik
Epilog

Kegalauan kandidat tidak perlu terjadi jika ia memulai kedekatan dengan masyarakat pemilihnya bersama dengan waktu berproses masyarakat, tumbuh dan berproses bersama masyarakat. Janji kampanye pun tak lagi diperlukan karena masyarakat telah memahami maunya kandidat. Tentunya, di titik ini kandidat tidak mengkhawatirkan kecenderungan pragmatisme masyarakat pemilih yang masih suka manfaat sesaat walaupun telah "hidup bersama" (rasionalitas pemilih). 

Dan ketika ia terpilih pun tak perlu galau dengan hanya memfokuskan pikiran dan energinya untuk pemenangan demi jabatan jilid II atau jilid berikutnya dengan mewariskan ke anggota keluarganya, fokuskan aja pikiran dan energi ke program inovasi yang berorientasi kebutuhan masyarakat dengan menempatkan program satuan kerja di pemerintahannya dalam bingkai pro rakyat sesuai visi daerah (makanya visi kudu jelas) secara terintegrasi. 

Integrasi program antar satker ini penting, biar ada desain program terarah dan terfokus, ada goal yang dicapai oleh daerah. Jangan kawatir ndak jadi lagi... Jika program pemerintah anda bagus dan jalan, bermanfaat nyata, rakyat kita mahsenengnya safety player kok, pemain aman, ndak neko-neko, anda, atau jagoan pewaris anda, pasti kepilih (lagi) kok...  hehe... :D

Kegalauan masyarakat pemilih tidak perlu terjadi jika mereka menempatkan kepentingan bersama secara jangka panjang, dengan tidak berpikir pendek mengejar manfaat sesaat yang sebenarnya bikin sesat.  Nah ini nih yang juga ndak sederhana persoalannya. Perlu ada gerakan yang secara kritis dan rasional menemani masyarakat untuk memilih calon yang baik dan mampu membawa kebaikan daerah dan warga masyarakatnya. Di sinilah bener-bener terasa bingits: vox populi vox deo, suara rakyat suara Tuhan. 

Entahlah, Tuhan yang kayak apa.... berani bener bikin ungkapan macam itu... Tetapi inilah logika dan cara kerja demokrasi. Menyerahkan suksesi kepemimpinan yang bakal membawa nasib orang banyak, kepada orang kebanyakan. Sekali lagi: perlu ada gerakan yang secara kritis dan rasional menemani masyarakat untuk memilih calon yang baik dan mampu membawa kebaikan daerah dan warga masyarakatnya. Mau memilih kepala daerah yang macam apa, terserah yang memilih. 

Mau melestarikan dinasti politik yang diharamkan banyak cendekiawan, ya terserah yang memilih. Eh, bener juga vox populi vox deo, suara rakyat suara Tuhanitu. So, mari kita mendidik "Tuhan" (baca: rakyat) agar bertitah benar, sekaligus mendidik partai politik agar menyuguhkan menu (kandidat, pasangan calon) yang tidak membingungkan Tuhan eh, rakyat pemilih. Tetapi, terlalu mengandalkan partai untuk mengusung kandidat (pasangan calon) yang benar-benar benar atau yang sejalan dengan maunya para cerdik pandai, juga susah, karena partai punya pertimbangan tersendiri (yang bagian ini ntar kita bahas tersendiri aja ya... ).

Kita mah paham, kepala daerah maunya pengen jadi lagi (rasionalitas kandidat), tapi jangan lupa fokus ke program untuk rakyat ya...

"Jika tidak, anda ndak bakalan awet..."

"Aaah... siapa bilang mas...."

"Yaa... kita buktiin aja laah... Kita taruhan yookk...."

Nah, kira-kira, rakyat pemilih lebih memenangkan taruhan-nya kandidat atau taruhan saya ya.... hahaha....  :D

"Ya taruhan kami sendiri to mas....."

Benar, pilkada memang sebuah pertaruhan, disamping pertarungan. Bertarung untuk mempertaruhkan nasib bersama. Ya, nasib. Nasiiiiiib...

Tulisan ini saya tutup dengan: "HIDUP adalah PILIHAN". Nah, silakan pilih sendiri nasib anda.***

Wawan Kuswandoro

Pegiat Diskusi Publik "Wacana Kita"

Peminat Politik Lokal dan Rekayasa Politik

www.wKuswandoro.com

www.MiracleWays.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun