Pertama dan utama:wawasan inovasidan kreativitas. Kedua,kemampuan mengorganisasi segenap elemen dan kepentingan, baik internal yakni organisasi pemerintahan, mesin birokrasi maupun eksternal yakni elemen di luar organisasi pemerintahan. Ketiga,kemauan politik dan keberpihakan kepada masyarakat.Â
Bisakah? Tergantung pengusungnya dan rakyat pemilik suara: suara rakyat suara Tuhan ataukah suara rakyat suara amplop.
Kegalauan kandidat tidak perlu terjadi jika ia memulai kedekatan dengan masyarakat pemilihnya bersama dengan waktu berproses masyarakat, tumbuh dan berproses bersama masyarakat. Janji kampanye pun tak lagi diperlukan karena masyarakat telah memahami maunya kandidat. Tentunya, di titik ini kandidat tidak mengkhawatirkan kecenderungan pragmatisme masyarakat pemilih yang masih suka manfaat sesaat walaupun telah "hidup bersama" (rasionalitas pemilih).Â
Dan ketika ia terpilih pun tak perlu galau dengan hanya memfokuskan pikiran dan energinya untuk pemenangan demi jabatan jilid II atau jilid berikutnya dengan mewariskan ke anggota keluarganya, fokuskan aja pikiran dan energi ke program inovasi yang berorientasi kebutuhan masyarakat dengan menempatkan program satuan kerja di pemerintahannya dalam bingkai pro rakyat sesuai visi daerah (makanya visi kudu jelas) secara terintegrasi.Â
Integrasi program antar satker ini penting, biar ada desain program terarah dan terfokus, ada goal yang dicapai oleh daerah. Jangan kawatir ndak jadi lagi... Jika program pemerintah anda bagus dan jalan, bermanfaat nyata, rakyat kita mahsenengnya safety player kok, pemain aman, ndak neko-neko, anda, atau jagoan pewaris anda, pasti kepilih (lagi) kok... Â hehe... :D
Kegalauan masyarakat pemilih tidak perlu terjadi jika mereka menempatkan kepentingan bersama secara jangka panjang, dengan tidak berpikir pendek mengejar manfaat sesaat yang sebenarnya bikin sesat. Â Nah ini nih yang juga ndak sederhana persoalannya. Perlu ada gerakan yang secara kritis dan rasional menemani masyarakat untuk memilih calon yang baik dan mampu membawa kebaikan daerah dan warga masyarakatnya. Di sinilah bener-bener terasa bingits: vox populi vox deo, suara rakyat suara Tuhan.Â
Entahlah, Tuhan yang kayak apa.... berani bener bikin ungkapan macam itu... Tetapi inilah logika dan cara kerja demokrasi. Menyerahkan suksesi kepemimpinan yang bakal membawa nasib orang banyak, kepada orang kebanyakan. Sekali lagi: perlu ada gerakan yang secara kritis dan rasional menemani masyarakat untuk memilih calon yang baik dan mampu membawa kebaikan daerah dan warga masyarakatnya. Mau memilih kepala daerah yang macam apa, terserah yang memilih.Â
Mau melestarikan dinasti politik yang diharamkan banyak cendekiawan, ya terserah yang memilih. Eh, bener juga vox populi vox deo, suara rakyat suara Tuhanitu. So, mari kita mendidik "Tuhan" (baca: rakyat) agar bertitah benar, sekaligus mendidik partai politik agar menyuguhkan menu (kandidat, pasangan calon) yang tidak membingungkan Tuhan eh, rakyat pemilih. Tetapi, terlalu mengandalkan partai untuk mengusung kandidat (pasangan calon) yang benar-benar benar atau yang sejalan dengan maunya para cerdik pandai, juga susah, karena partai punya pertimbangan tersendiri (yang bagian ini ntar kita bahas tersendiri aja ya... ).
Kita mah paham, kepala daerah maunya pengen jadi lagi (rasionalitas kandidat), tapi jangan lupa fokus ke program untuk rakyat ya...
"Jika tidak, anda ndak bakalan awet..."