Sepatuku juga tidak terlalu bagus, padahal orangtuaku juga tidak tergolong orang miskin, meskipun hanya pegawai negeri sipil dengan gaji tidak seberapa, tetapi tidak ada seorangpun yang berani menyebut keluargaku miskin, bahkan kedua orangtuaku.
Tetapi aku tidak berdaya setiap kali memprotes penampilanku yang buruk ketika di sekolah karena tidak memiliki seragam yang baru atau sekedar kaos kaki yang pantas dikenakan, mereka sudah bersusah payah untuk membesarkan dan menyekolahkanku. Jika orangtuaku marah, mereka pasti mengungkit hal itu untuk membuatku berhenti meminta. Dan aku juga seringkali ketakutan jika mendengarnya, bahkan sampai aku setua seperti sekarang.
Wanita itu, dia berteriak padaku, ternyata wajahnya lumayan cantik. Kulitnya putih bersih, kacamata yang bertengger diatas hidungnya membuatnya terlihat pintar dan anggun.
"Lariii!!!"
Aku samar mendengar suara teriakannya. Aku jadi teringat dengan seseorang yang kukenal baik, dia selalu memberiku semangat saat apapun itu.
"Ayo kita lari sama-sama..."
"Tapi, kakiku habis cedera. Aku takkan kuat mengikutimu."
"Aku yang akan mengikutimu." Katanya sambil tersenyum. "Kan, tadi sudah kubilang kita lari sama-sama."
Kami selalu bersama sejak saat itu. Bisa dikatakan dialah satu-satunya temanku. Sebenarnya aku juga tidak terlalu membutuhkan teman, apalagi banyak diantara teman kami yang mencibir kebersamaan kami. Mereka memang tampak baik-baik saja kalau di depan kami. Akan tetapi, tidak demikian ketika mereka berbicara di belakang. Kata-kata mereka begitu pedas dan menusuk.
"Kamu menangis?"
Dia menggeleng pelan, lalu mendongak dan tersenyum kearahku.