Aku terlalu bias karena mengamati dari kejauhan saja. Bisa jadi juga, mereka adalah pasangan yang sedang tidak akur, mungkin wanita itu telah memergoki si pria berselingkuh dengan mantan kekasihnya. Atau mungkin sebaliknya, wanita itu selingkuh, siapa bilang wanita tidak bisa selingkuh. Ah, apa peduliku, mereka juga tidak peduli padaku yang jongkok di bawah beton sendirian.
Hujan tak juga reda, seorang anak kecil kelihatan kesulitan mengikuti langkah kaki besar-besar ibunya yang hendak berteduh dan sudah kuduga dia akhirnya terjatuh.
Dia menangis.
Lumpur memenuhi sebagian besar pakaiannya dan sang ibu dengan perasaan bersalah menggendong tubuh kecil anaknya. Dia melupakan payung yang dibawanya dan memilih berhujan-hujan hingga menepi di dekat sepasang pria dan wanita tadi. Tidak seorangpun peduli pada payung yang terombang-ambing badai, terseret hingga ke pinggir jalan raya.
Hatiku sakit melihatnya. Aku merasa senasib dengan payung itu, sama-sama tidak ada yang memperdulikan kami. Entah bagaimana, aku terpanggil untuk menyelamatkan payung itu. Akupun berlari menyeberang jalan untuk mengejar payung itu. Perasaanku lega bercampur senang saat bisa meraih payung bermotif polkadot.Â
Aku merasa seperti pemenang, dan aku bangga karena tidak ada yang bisa menyelamatkan payung malang ini, hanya aku. Akupun dengan mantap hendak melangkahkan kaki, memberikan payung ini dan membuatku mendapatkan satu senyuman saja sebagai balasannya.
Namun, aku tidak mengerti ketika semua orang meneriakiku, seolah aku dituduh hendak mencuri payung itu. Aku berusaha untuk tidak mempedulikannya, aku harus membuktikan bahwa aku beritikad baik. Aku tidak mencuri, aku hanya ingin menolong. Tetapi, mereka terus saja berteriak padaku. Tangan mereka melambai-lambai seperti hendak mengusirku, aku berusaha untuk tersenyum, diantara derasnya guyuran air hujan. Toh, ini bukan kedua kalinya aku diperlakukan begini.
Pria itu, aku bisa membaca bibirnya, dia meneriakiku dengan sebutan bodoh. Entah darimana dan bagaimana caranya dia tahu kalau aku bodoh. Aku memang bodoh. Sejak di sekolah dasar aku tidak terlalu pandai. Aku tidak bisa berhitung sampai kelas tiga dan aku tidak pernah bisa menghafal sampai kelas enam. Saat duduk di sekolah menengah pertama aku sering di-bully oleh teman sekelasku, mereka selalu mengataiku dengan sebutan anak kampung.Â
Aku jadi sulit berteman, tidak banyak yang mau berteman denganku. Aku tahu mereka yang mau berteman denganku tidak lebih karena kasihan padaku. Aku juga punya seseorang yang kusukai di sekolah dan dia menolakku. Dia tidak suka kalau ada yang tahu dirinya disukai oleh anak kampung dan bodoh sepertiku.
Lalu, ketika duduk di sekolah menengah atas, aku bertemu dengan teman-teman yang sama. Jadi aku tidak di-bully lagi, mungkin mereka sudah bosan denganku. Aku punya lebih banyak teman disini, aku juga sudah tidak peduli lagi dengan kenyataan bahwa aku tidak popular dan banyak orang yang tidak suka denganku.Â
Terkadang aku ingin menyalahkan kedua orangtuaku, karena mereka sama sekali tidak peduli dengan seragam sekolah yang kukenakan apakah terlalu besar atau terlalu pendek, kaos kakiku selalu longgar, kadang aku harus mengikatnya dengan karet gelang dan menyembunyikannya diujung kaos kaki sehingga kalau diperhatikan sedikit bagian atas kaos kakiku selalu tergulung ke dalam.Â