Sudah cukup lama juga saya ingin menulis tentang musik non-komersil dalam sudut pandang yang menyejarah. Tetapi ini bukan tentang satu genre yang mudah dikenali seperti jazz atau musik klasik, melainkan tentang musik yang mencoba melampaui pakem atau kebakuan tertentu. Sampai akhirnya saya menemukan buku pdf (ebook) judulnya “Into the Maelstrom : Music, Improvisation and The Dream of Freedom before 1970” karya David Toop (2016). Nah, tiba-tiba saya teringat akan satu buku kecil yang sudah agak lama tapi cukup informatif, “Kultus Underground : Pengantar Untuk Memahami Budaya (Kaum Muda) Pascamodern” tulisan Tony Thorne (2008).
Ini semacam buku kajian budaya yang ringan, membahas tentang budaya tanding atau kontra-kultur tahun 1960-an hingga era kekinian tetapi dalam bentuk kamus ensiklopedis. Melalui buku-buku tersebut saya menyadari bahwa terdapat keterkaitan yang kuat antara musik non-komersil atau musik ‘protes’ tertentu dengan budaya-budaya tanding, tren pemikiran bahkan spiritualitas alternatif yang melanda Barat pada masa puncak Perang Dingin (tahun 1960-an hingga berakhirnya perang Vietnam di pertengahan 1970-an). Pada saat itulah mulai terjadi suatu ‘revolusi’ estetik dalam bidang musik -- baik di dalam ranah musik jazz ataupun musik rock / pop -- yang kemudian melahirkan apa yang biasa disebut ‘musik eksperimental’ yang akan saya utarakan secara singkat…
Sesuai dengan definisinya, musik ‘eksperimental’ ini merupakan suatu gerakan atau aliran yang menolak batasan-batasan baku dan senantiasa mencari bentuk ekspresi yang baru dan segar dalam bermusik. Karena itu musik ini menjadi sesuatu yang ‘beyond borders’ atau diluar definisi aliran musik, sekaligus bersifat ‘eklektik’ dalam arti mencampurkan aliran2 itu menjadi sesuatu yang baru.
Dalam tulisan ini saya mengkategorikan musik yang berkarakter ‘eksperimental’ menjadi tiga tingkatan sesuai dengan kompleksitas atau tingkat kesulitannya yaitu musik independen (indie) di tingkatan paling sederhana, musik progresif (prog) di strata menengah, dan musik garda-depan (avant garde) sebagai tingkatan paling kompleks. Untuk dapat memahami dan menikmati musik non-mainstream memang sebaiknya dimulai dari yang paling sederhana dahulu, baru kemudian naik tingkatan sedikit demi sedikit….
Istilah musik independen menjadi suatu kategori baru sekitar awal 1990-an bersamaan dengan tren musik (rock) alternatif. Kedua aliran itu memang berdekatan dan agak tumpang tindih. Pada awalnya terdapat suatu gerakan bermusik yang terpengaruh oleh ‘Punk’ (sekitar tahun 1976-1980)-- baik sebagai aliran musik maupun sub kultur -- tetapi dengan menyerap pengaruh musikal yang lebih luas. Gerakan ini tampaknya kemudian bercabang menjadi beberapa aliran : yang komersial menjelma dalam bentuk ‘New Wave’ (gelombang baru) musik pop dengan pengaruh elektronik atau musik dansa dari Karibia (khususnya reggae Jamaica) dan ‘alternative rock’ di akhir 1980-an.
Sementara musik yang lebih berorintasi eksperimental dan kurang komersil berkembang dalam bentuk musik independen atau ‘indie’ yang awalnya adalah sekumpulan band yang merilis albumnya diluar label rekaman besar (major label). Model atau nuansa yang dikembangkan juga tampak kurang lazim dan agak berbeda dari musik rock alternatif secara umum. Kelompok-kelompok musik indie mengembangkan musik yang eklektik -- meski masih dalam struktur musik dan durasi lagu yang mendekati lagu2 populer (4-5 menit per lagu) - dengan memadukan musik post-punk dengan musik2 di zaman keemasan budaya2 tanding era 1960-an seperti musik folk (folk-rock), psikedelia, dan sedikit pengaruh jazz. Ini menjadikan ‘musik indie’ pada kenyataanya lebih sulit dipetakan dalam kategori musik yang normal. Tetapi bagaimanapun, indie masih jauh lebih sederhana daripada ‘kakak angkatan’nya yang lebih bandel,yaitu musik progresif.
Kalau sudah khatam dengan musik indie, boleh coba musik yang tingkatannya lebih rumit dan banyak petualangan bunyinya. Inilah musik progresif (atau rock progresif) yang banyak juga sub-genrenya (Simfonik, Canterbury, psikedelik, Krautrock, electronic prog, prog-metal, prog-fusion / jazz-rock, dsb). Musik ini menjadi sebuah gejala umum dalam musik rock maupun jazz sekitar tahun 1969 hingga 1976, sebelum kemunculan punk dan ‘(heavy) metal’ di tahun 1980-an, dan sejak itu musik ini mengalami masa surut sebelum mengalami kebangkitan kembali di tahun 1990-an, meski tidak semassif masa2 awal.
Dalam tingkatan musik eksperimental, musik progresif menempati tingkatan menengah karena beberapa hal. Dibandingkan dengan sajian indie, prog lebih mengutamakan komposisi musik daripada vokal dan dengan sendirinya cenderung memiliki durasi yang lebih panjang dan rumit karena sarat improvisasi (rata2 lagu progresif berdurasi antara 8 hingga 15 menit).
Sama halnya dengan dalam jazz atau klasik, keberadaan vokalis dalam musik prog lebih diperlakukan dalam fungsi sebagai instrumen musik, sehingga banyak diantara musik vokal dalam prog menggunakan model vokal ‘multi-layer’ atau berlapis seperti paduan suara (meski terkadang hanya diciptakan melalui rekayasa rekaman) Sementara untuk lirik lagu bervokal, musik prog sama halnya dengan musik indie, menggunakan referensi tema yang lebih luas daripada musik populer.
Meski sebagian besar musik progresif merupakan musik dengan konsumen terbatas di kalangan terpelajar atau peminat musik seni serius, bukan berarti mereka tidak menembus pasar musik populer. Grup musik Pink Floyd, Yes, Genesis, Rush dan Dream Theater adalah beberapa nama yang sudah sangat familiar di kalangan peminat musik rock umum, tidak harus menjadi ‘progger’ beneran….
Nah, akhirnya musik yang murni bersifat eksperimental adalah musik garda depan atau ‘avant-garde’. Gerakan musik ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari musik klasik Barat, sehingga di Indonesia juga disebut dengan istilah ‘musik klasik kontemporer’ atau ‘kontemporer’ saja. Dipelopori oleh sejumlah komposer seperti Arnold Schoenberg atau John Cage, musik ini memang melampaui batasan musik secara umum dan bahkan menciptakan bunyi-bunyian dari sumber non-instrumen musik termasuk suara-suara alami disamping instrumen musik, yang dimainkan dengan cara tidak baku pula.
Perkembangannya kemudian, musik garda depan berkembang dalam banyak varian dan mempengaruhi musik2 mapan dan populer. Maka muncullah musik jazz garda-depan yang mengedepankan improvisasi bebas, dipelopori oleh Ornette Coleman di tahun 1960-an, suatu terobosan dalam jazz yang kemudian lebih banyak berkembang di Eropa daripada di Amerika sebagai negeri asal jazz itu sendiri. Demikian pula Frank Zappa dengan grupnya Mother of Invention menghadirkan suatu perpaduan antara musik garda depan dengan rock progresif dan jazz (fusion) melahirkan sub genre avant-prog.
Ada perbedaan Zappa dengan kebanyakan musisi progresif lainnya, yaitu musiknya tidak hanya memamerkan skill atau kerumitan semata, namun juga berfungsi sebagai bentuk parodi. Musisi lainnya seperti John Zorn bahkan melakukan petualangan musikal dengan menggarap berbagai repertoar musik di wilayah free jazz, avant-garde metal, musik latar (soundtrack) film, hingga ‘klezmer’ yaitu sejenis musik tradisional (folk) bangsa Yahudi. Ia juga dikenal sebagai salah satu musisi garda-depan yang sangat produktif sejak awal karirnya di tahun 1980-an hingga sekarang bersama grupnya Naked City maupun Masada Elektrik & Akustik Trio.
Demikianlah sekelumit pandangan saya tentang musik non mainstream yang meski terlihat asing buat khalayak umum, tapi tetap memiliki daya tarik tersendiri yang seringkali memiliki efek yg lebih adiktif alias membuat ketagihan bagi yang benar2 sudah masuk di dalam wilayah ini. Terbukti bahwa berbagai pusat perbelanjaan musik kelas tinggi seperto Blok M Square di Jakarta atau kawasan Beringharjo di Yogyakarta tidak pernah sepi dari pengunjung dan kolektor. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H