Nasionalisme, sebagai fenomena politik dan sosial, memiliki relevansi yang mendalam di Indonesia. Sebagai negara dengan keanekaragaman budaya, etnis, dan agama yang tinggi, nasionalisme telah memainkan peran penting dalam menyatukan bangsa sejak masa perjuangan kemerdekaan hingga era modern.
Artikel ini akan membahas perbedaan cara pandang terhadap nasionalisme antara kelas sosial berdasarkan kondisi material khususnya kelas menengah ke bawah dan menengah ke atas. Bagaimana perbedaan pandangan nasionalisme antara berbagai kelas sosial ini memengaruhi mereka atau apakah ternyata mereka memiliki persepsi yang berbeda tentang nasionalisme?
***
Nasionalisme di Indonesia : Sebuah Landasan Bersama
Nasionalisme di Indonesia terbentuk dari perjuangan kolektif melawan penjajahan. Konsep "Bhineka Tunggal Ika" menjadi landasan penting yang menegaskan kesatuan dalam keberagaman. Dalam sejarahnya, nasionalosme di Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai alat perlawanan terhadap penjajah, tetapi juga sebagai sarana untuk membangun identitas nasional yang inklusif.
Kaum intelektual seperti Soekarno Hatta memainkan peran sentral dalam merumuskan visi nasionalisme yang mampu mencakup kepentingan kelompok sosial.
Perspektif Kelas Menengah ke Atas Terhadap Nasionalisme
Karl Marx mencatat bahwa,"Borjuasi memusatkan populasi, sarana produksi, dan properti ke dalam satu kesatuan nasional,"Â menciptakan struktur yang melayani kepentingan mereka sendiri (Marx & Engels, 1848).
Dalam konteks Indonesia, kelas menengah ke atas cenderung memanfaatkan nasionalisme untuk memperkuat posisi ekonomi dan sosial mereka. Dalam banyak kasus, nasionalisme diartikulasikan melalui dukungan terhadap stabilitas politik dan ekonomi yang memungkinkan mereka mempertahankan atau meningkatkan kesejahteraan. Proyek-proyek nasional berskala besar, seperti pembanggunan infrastruktur atau kawasan industri, sering kali didukung oleh kelas ini sebagai simbol kemajuan nasional.
Namun, interpretasi nasionalisme oleh kelas menengah ke atas juga dapat memunculkan kritik. Beberapa kebijakan yang didasarkan pada nasionalisme, seperti perlindungan investasi domestik atau prioritas pada industri tertentu, kadang hanya menguntungkan kelompok tertentu dalam kelas ini, sehingga memperlebar kesenjangan dengan kelas menengah ke bawah. Dalam perspektif ini, nasionalisme cenderung dilihat sebagai alat yang melanggengkan kekuasaan ekonomi mereka.
Mochamad Nurhasim, seorang peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), menyatakan bahwa "kelas menengah di Indonesia memiliki peran penting dalam membentuk wacana nasionalisme modern. Namun, peran ini sering kali dikritik karena lebih condong pada simbolisme daripada langkah nyata untuk mengurangi ketimpangan sosial." Kritik ini menunjukkan bahwa meskipun kelas menengah ke atas mendukung pembangunan nasional, mereka kadang gagal dalam mengatasi masalah ketimpangan yang memperlebar jarak dengan kelas lainnya.
Perspektif Kelas Menengah ke Bawah Terhadap Nasionalisme
Dalam pemikiran Karl Marx, kelas pekerja sering kali menjadi pihak yang paling rentan terhadap manipulasi ideologi nasionalisme oleh kelas atas, yang digunakan untuk mengaburkan perjuangan kelas sebenarnya (Kostantaras, 2020).
Bagi kelas menengah ke bawah di Indonesia, nasionalisme sering kali dihubungkan dengan harapan akan pemerataan dan keadilan sosial. Mereka memandang nasionalisme sebagai panggilan untuk menjamin akases terhadap sumber daya dan layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Dalam konteks ini, nasionalisme sering diartikulasikan melalui tuntutan terhadap kebijakan yang pro-rakyat, seperti subsidi bahan pokok atau peningkatan upah minimum.
Menurut pengamat politik Burhanuddin Muhtadi, "kelas menengah ke bawah sering kali mengartikulasikan nasionalisme dalam bentuk protes terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil, seperti kenaikan harga bahan bakar atau tarif dasar listrik. Mereka melihat nasionalisme sebagai alat untuk memperjuangkan hak-hak mereka dalam sistem yang kerap menguntungkan kelas atas." Pernyataan ini menggarisbawahi bagaimana kelas menengah ke bawah menggunakan wacana nasionalisme untuk menuntut kebijakan yang lebih inklusif.
Kesenjangan material yang dirasakan oleh kelas ini sering kali memunculkan rasa frustasi terhadap wacana nasionalisme yang dianggap tidak inklusif. Bagi mereka, nasionalisme yang hanya menguntungkan segelintir elit atau kelas menengah ke atas tidak mencerminkan semangat "gotong royong" yang menjadi inti identitas nasional Indonesia. Dalam hal ini, nasionalisme menjadi alat kritik terhadap ketidakadilan yang dirasakan dalam sistem sosial dan ekonomi.
Nasionalisme dalam Perspektif Kesadaran Kelas
Perbedaan cara pandang antara kelas menengah ke atas dan ke bawah terhadap nasionalisme mencerminkan dinamika kesadaran kelas di indonesia. Kelas menengah ke atas sering mengasosiasikan nasionalisme dengan modernisasi dan kemajuan ekonomi, sementara kelas menengah ke bawah melihat nasionalisme sebagai perjuangan untuk mendapatkan akases yang adil terhadap hasil pembangunan.
Sebagai contoh, proyek pembangunan Ibu Kota Negara baru (IKN) menunjukkan bagaimana kelas sosial berbeda memandang nasionalisme. Bagi kelas menengah ke atas, proyek ini adalah simbol kebangaan nasional dan modernisasi. Namun, bagi kelas menengah ke bawah, proyek tersebut dapat dianggap sebagai ancaman terhadap keberlanjutan ekonomi lokal atau akses lahan, yang menciptakan polarisasi dalam interpretasi nasionalisme.
Ambiguitas Nasionalisme dalam Konteks Modern Indonesia Â
Salah satu kekuatan nasionalisme di Indonesia adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Namun, ambiguitas ini juga menjadi sumber perdebatan. Bagi kelas menengah ke atas, nasionalisme digunakan untuk memperkuat posisi mereka dalam tatanan sosial, sementara bagi kelas menengah ke bawah, nasionalisme adalah alat perjuangan melawan ketimpangan.
Bart Bonikowski mencatat bahwa nasionalisme sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti etnis, usia, dan pendidikan. Dalam konteks Indonesia, faktor-faktor ini tercermin dalam perdebatan tentang otonomi daerah, kebijakan multikulturalisme, dan isu-isu sosial lainnya. Simbol nasional seperti lagi kebangsaan dan peringatan Hari Kemerdekaan tetap menjadi pengingat penting akan identitas kolektif, tetapi interpretasinya dapat berbeda-beda di antara kelompok sosial.
***
Nasionalisme di Indonesia adalah cerminan dari kompleksitas masyarakatnya. Kelas menengah ke atas sering kali melihat nasionalisme sebagai alat untuk memperkuat stabilitas dan kemajuan ekonomi, sementara kelas menengah ke bawah mengartikulasikannya dalam konteks perjuangan untuk keadilan sosial. Perbedaan ini mencerminkan dampak kesenjangan material terhadap interpretasi nasionalisme.
Dengan fleksibilitas dan ambiguitasnya, nasionalisme di Indonesia mampu menyatukan berbagai kelompok sosial sekaligus menjadi arena perdebatan tentang makna dan tujuannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H