Mohon tunggu...
Wanda Ardika
Wanda Ardika Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - UIN Walisongo Semarang/pelajar

senang belajar dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengasah Potensi Anak Usia Dini: Strategi Terbaik dalam Pendidikan

12 Juni 2023   23:33 Diperbarui: 13 Juni 2023   00:29 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mengasah Potensi Anak Usia Dini: Strategi Terbaik Dalam Pendidikan 

 

Secara esensial, anak tumbuh dan mengembangkan diri melalui pengasuhan keluarga. Keluarga merupakan sebuah komunitas kecil yang terbentuk melalui pernikahan. Dalam Islam, pembinaan keluarga dan rumah tangga dimulai dengan prinsip bawaan setiap individu, yaitu "kasih sayang". Islam mengajarkan kepada umat Muslim, khususnya suami istri, untuk mendidik anak-anak mereka sebaik mungkin guna mencapai tujuan ini. Menurut psikologi perkembangan, masa kanak-kanak adalah periode awal kehidupan manusia yang dimulai sejak lahir dan berakhir saat mencapai usia dewasa. 

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa masa kanak-kanak sangat penting dalam menentukan arah kehidupan seseorang, di mana pada masa ini terdapat karakteristik dan potensi khusus yang menjadi dasar pertumbuhan mereka di masa depan (Thaha, 2009: 81). Dalam membentuk anak menjadi individu yang handal, orang tua memiliki tugas yang berat dan berperan penting. Mereka diharapkan untuk memahami karakteristik anak pada masa ini, mengenali hak-haknya, dan menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung perkembangan mental, minat, dan kreativitas secara seimbang dan optimal.

Tujuan dari mengembangkan bakat dan minat anak adalah agar mereka dapat belajar dan bekerja di bidang yang diminati serta sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minat yang dimiliki. Hal ini bertujuan agar anak dapat mengembangkan kemampuannya secara optimal dan dengan antusiasme penuh di masa depan. Setiap orang tua tentunya ingin anaknya menjadi kreatif, karena pada dasarnya setiap individu memiliki potensi kreatif, namun permasalahannya adalah sejauh mana potensi tersebut dapat dikembangkan oleh orang tua sehingga anak dapat tumbuh dewasa dan menghasilkan karya serta gagasan yang luar biasa. 

Untuk mengasah dan mengembangkan kreativitas, minat, dan bakat, proses ini sebaiknya dimulai sejak usia dini anak. Sebagai orang tua yang ingin anaknya menjadi kreatif, penting untuk memahami bagaimana mengembangkan dan meningkatkan kreativitas, minat, dan bakat anak.

Selain memperhatikan perkembangan fisik, kognitif, dan psikomotorik anak, orang tua juga harus memperhatikan perkembangan aspek afektif dan ruhani. Aspek-aspek ruhani harus diajarkan oleh orang tua agar anak dapat menjadi individu yang kuat dalam urusan dunia dan agamanya. Artikel ini, selain memberikan gambaran tentang cara mengembangkan anak, minat, bakat, dan kreativitasnya, juga menggambarkan bagaimana al-Qur'an memberikan panduan ruhani pada anak sejak usia kanak-kanak, seperti yang terlihat dalam pendidikan Lukman kepada putranya.

A. Pengembangan Potensi Melalui Kreativitas Anak

a. Seputar kreativitas anak

Istilah kreativitas bukanlah hal baru yang asing bagi kita, bahkan sering kali kita mendengarnya dan menggunakannya. Namun, sebenarnya tidaklah mudah untuk memberikan definisi yang tepat tentang apa itu kreativitas. Di bidang psikologi, telah ada banyak definisi yang dibuat mengenai kreativitas.

Beberapa pakar mendefinisikan kreativitas sebagai aktivitas kognitif yang menghasilkan metode baru dalam memecahkan masalah. Ahli lainnya mengartikan kreativitas sebagai potensi seseorang untuk menghasilkan karya atau ide yang orisinal. Ada juga yang menggambarkan kreativitas sebagai kemampuan seseorang dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda, baik dalam bentuk hasil yang dapat dinilai maupun ide yang mengarah pada penciptaan karya baru (Tim Pustaka Familia, 2006: 252).

Alimah dan rekannya (2013: 141) menjelaskan bahwa kreativitas merupakan kemampuan untuk berpikir secara beragam, ditandai dengan kelancaran ide atau aliran pemikiran, fleksibilitas dalam memikirkan berbagai solusi masalah, atau mencari hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah ada. Jika seorang orang tua cenderung melarang tanpa memberikan solusi, itu menunjukkan kurangnya kreativitas dari orang tua tersebut. Ketika harus melarang, orang tua sebaiknya memberikan alasan yang logis kepada anak-anak. 

Hal ini karena biasanya ketika anak-anak dilarang, rasa ingin tahu mereka akan muncul. Namun, jika rasa ingin tahu anak tidak dipuaskan oleh orang tua, anak akan mencari jawabannya sendiri, dan tanpa pendampingan, hal itu dapat menjadi berbahaya.

Manusia perlu memiliki kemampuan kreativitas agar dapat mengatasi berbagai tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Penting bagi kita untuk mengembangkan kreativitas sejak usia dini. Sayangnya, banyak keluarga yang tidak menyadari bahwa sikap otoriter orang tua terhadap anak dapat meredam bakat kreativitas anak, sehingga ketika mereka dewasa, kemampuan kreativitas mereka menjadi terbatas (Ranggiasanka, 2011: 31).

Sebuah pertanyaan muncul mengenai apakah orang tua seharusnya mengajarkan kreativitas kepada anak-anak mereka. Jawabannya adalah, tidak ada sarana, pendidikan, atau kurikulum yang dapat mengajar anak menjadi kreatif. Kreativitas tidak bisa diajarkan seperti kita mengajarkan kemampuan matematika atau membaca. Kreativitas bukanlah materi yang dapat disampaikan kepada anak dan membuat mereka secara otomatis mampu melakukannya. Hal ini disebabkan oleh sifat kreativitas yang melibatkan aspek kebaruan dan keunikan, sehingga lebih mirip dengan suatu cara pandang atau perspektif (Tim Pustaka Familia, 2006:271).

Seperti kecerdasan, kreativitas juga dimiliki oleh setiap anak. Namun, tingkat kreativitas dapat berbeda antara satu anak dengan anak lainnya. Kecerdasan dan kreativitas memiliki hubungan yang erat. Namun, berbeda dengan kecerdasan, kreativitas anak tidak dapat mengembangkan dirinya jika anak tersebut dibesarkan dalam lingkungan yang otoriter, di mana segala tindakan anak harus tunduk pada aturan yang ketat. Anak yang terjebak dalam situasi semacam ini, baik di rumah maupun di sekolah, akan kehilangan kebebasan untuk mengekspresikan diri dan kreativitasnya tidak akan berkembang (Wulan, 2011: 46).

b. Pola asuh dalam kreativitas anak

Salah satu tanda-tanda dari seorang anak yang kreatif adalah rasa ingin tahu yang tinggi, ketidakpuasan terhadap jawaban tunggal, sikap eksploratif, dan kecenderungan untuk mencoba hal-hal yang tidak biasa. Orang tua memiliki beberapa cara untuk menghadapi pertanyaan yang seringkali diajukan oleh anak. 

Jika anak terus-menerus bertanya dan dianggap mengganggu, orang tua dapat mengatasi situasi tersebut dengan memberikan sebuah buku catatan yang diberi judul "Buku Rasa Ingin Tahuku", di mana anak dapat menuliskan atau menggambarkan pertanyaannya di dalam buku tersebut. Ketika orang tua memiliki waktu luang, mereka dapat mencari jawaban atas pertanyaan tersebut bersama-sama dengan anak (Alimah dkk, 2013: 142).

Kreativitas anak akan berkembang jika orang tua mengadopsi sikap otoritatif, yaitu mereka mampu mendengarkan pendapat anak, menghargai pendapat anak, dan mendorong anak untuk berani mengungkapkan pikirannya. Orang tua sebaiknya tidak menginterupsi anak ketika anak ingin berbagi pemikirannya. Mereka harus mendorong anak untuk berani mengemukakan pendapat, gagasan, melakukan tindakan, atau membuat keputusan sendiri (selama tidak merugikan orang lain atau dirinya sendiri). 

Orang tua seharusnya tidak mengancam atau menghukum anak jika pendapat atau tindakannya dianggap salah. Anak tidaklah salah, mereka umumnya masih dalam tahap belajar. Oleh karena itu, orang tua sebaiknya bertanya mengapa anak berpendapat dan bertindak seperti itu (Ranggiasanka, 2011:31).        

Dalam upaya untuk mengembangkan kreativitas anak, penting bagi orang tua untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan imajinasi, merenung, berpikir, dan mewujudkan gagasan mereka dengan cara yang unik. Biarkan mereka bermain, menggambar, menciptakan bentuk atau warna yang tidak biasa, tidak logis, tidak realistis, atau belum pernah ada sebelumnya. Orang tua sebaiknya tidak banyak melarang, memerintah, mencela, menghukum, atau membatasi anak. Semua ini bertujuan untuk merangsang perkembangan fungsi otak kanan yang penting bagi kreativitas anak, yaitu berpikir divergen (luas), intuitif, abstrak, bebas, dan simultan (Ranggiasanka, 2011: 32).

Pola pengasuhan yang baik untuk anak usia dini adalah pola otoritatif, yang sangat mendukung perkembangan kreativitas anak. Dalam pola ini, anak diberikan otoritas dalam mengembangkan kreativitas mereka. Orang tua mendengarkan pendapat anak, mendorong mereka untuk berani mengungkapkan pendapat mereka, menghargai pendapat anak, tidak memotong pembicaraan anak, dan tidak merendahkan pendapat mereka. Orang tua mendorong anak untuk tertarik dalam mengamati dan mempertanyakan berbagai hal di sekitar mereka (Ranggiasanka, 2011: 33).

c. Mainan edukatif untuk anak kreatif

Biasanya, saat anak mencapai usia 5-7 tahun, mereka mulai meninggalkan permainan yang melibatkan mainan. Hal ini disebabkan karena jenis permainan dengan mainan cenderung lebih individual atau dilakukan sendirian. Namun, saat memasuki tahap pendidikan anak usia dini (TK), anak cenderung lebih suka bermain bersama teman-temannya (Wulan, 2011: 62).

Dalam mengembangkan kreativitas, terkadang anak dapat bermain menggunakan mainan yang memiliki nilai edukatif yang tinggi. Mainan edukatif anak memainkan peran penting dalam membangun kreativitas mereka. Ketika orang tua membuat mainan edukatif, seperti permainan yang melibatkan bentuk, alam, atau binatang, hal ini efektif dalam merangsang kreativitas anak. Jika mainan-mainan tersebut diberikan kepada anak sejak dini dengan pengawasan orang tua, maka konsep tersebut akan lebih tertanam dalam pikiran anak daripada hanya diberitahukan secara lisan atau secara verbal (Tim Pustaka Familia, 2006: 264).

Permainan edukatif yang dilakukan oleh anak mengalami perubahan, dari sekadar meniru menjadi menciptakan sesuatu yang baru. Contohnya, dalam permainan konstruktif atau membangun. Sebelum masuk sekolah, anak-anak cenderung menggambarkan kembali benda-benda yang sudah pernah mereka lihat sebelumnya. 

Sebagai contoh, mereka merasa senang dan puas ketika berhasil membuat kue dengan lilin berwarna yang serupa dengan kue yang pernah mereka lihat di rumah teman mereka. Anak prasekolah mulai meninggalkan permainan yang terlalu mengandalkan khayalan atau imajinasi, seperti bermain pura-pura atau berbicara sendiri dengan boneka dan mainan lainnya. Namun demikian, imajinasi anak tidak sepenuhnya menghilang. Hanya saja, penggunaan imajinasi mereka berpindah ke kegiatan lain yang tidak membutuhkan mainan. Dengan menggunakan kreativitas mereka, sebagai contoh, anak-anak mulai lebih suka mengekspresikan daya khayal dan imajinasi mereka dengan melamun (Wulan, 2011:63).

B. Pengembangan pola asuh anak yang berbakat

a. Mengenali bakat anak

Sebuah anugerah yang harus disyukuri adalah memiliki seorang anak yang berbakat. Orang tua tidak boleh hanya diam dan tidak berbuat apa-apa. Mereka perlu mengambil langkah-langkah untuk mengembangkan dan merangsang bakat anak mereka. Dengan memberikan rangsangan dan dorongan yang tepat, bakat anak akan berkembang dan membuat mereka meraih prestasi. Namun, menurut Hestianti (dalam Familia, 2003: 15), seringkali orang tua mengalami kesulitan dalam mengetahui bakat sebenarnya pada anak mereka. 

Hal ini bisa dimaklumi karena anak-anak masih sangat muda, sehingga potensi mereka jarang terlihat secara jelas. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mengenali anak mereka dengan baik sebagai langkah awal dalam mengidentifikasi bakat dan minat mereka.     

Orang tua seharusnya mencoba berbagai kegiatan yang merangsang untuk benar-benar memastikan bakat dan minat anak mereka. Tentu saja, kegiatan-kegiatan tersebut harus direncanakan dengan baik dan tidak dilakukan secara sembarangan.

Orang tua perlu memperhatikan kondisi anak, baik dari segi fisik maupun mental. Mereka juga sebaiknya menghindari mendorong anak hanya karena pengaruh dari orang lain. Semua ini melibatkan pengamatan dan pemahaman terhadap kecenderungan anak, apakah mereka suka menggambar, menyanyi, membaca, atau tertarik pada olahraga tertentu. Semakin banyak kesempatan yang diberikan kepada anak untuk mencoba berbagai kegiatan, semakin mudah bagi orang tua untuk mengetahui bakat dan minat anak mereka sejak dini (Familia, 2003: 16).

b. Menciptakan suasana kreatif dan motivative

Untuk memaksimalkan perkembangan bakat anak, penting untuk menjalankan kegiatan anak dalam suasana yang menyenangkan dan rekreasi. Hindari memberikan tekanan, paksaan, atau suasana disiplin yang terlalu kaku pada anak. Hal ini dapat membuat anak merasa terbebani dan tidak menyukai kegiatan tersebut. Sebaliknya, mereka akan lebih termotivasi untuk berusaha sebaik mungkin jika orang tua sering berkomunikasi secara terbuka dan memberikan dorongan mengenai kegiatan mereka (Familia, 2003:17).

Salah satu cara bagi orang tua untuk merangsang bakat anak adalah dengan memberikan motivasi yang tinggi melalui partisipasi mereka dalam berbagai kompetisi, seperti lomba mewarnai atau menyanyi. Mengikutsertakan anak-anak sejak usia dini merupakan dorongan agar mereka dapat berkembang lebih maju, walaupun orang tua tidak menekankan target untuk meraih juara. Justru memberikan beban kepada anak untuk selalu menjadi juara sejak dini dapat mengganggu perkembangan mentalnya dan tidak sehat bagi jiwa anak.

Orang tua juga harus memiliki sikap bijaksana dalam menghadapi hasil kompetisi. Jika anak memenangkan lomba, orang tua perlu memberikan pujian dan hadiah yang mendidik, yang dapat mendorong perkembangan anak lebih lanjut. Namun, jika anak tidak meraih juara, sebaiknya tidak menghukum, mengolok, atau memarahinya. Sebaliknya, orang tua harus memberikan semangat bahwa anak telah berusaha dengan baik. Orang tua juga perlu menjelaskan bahwa yang terpenting bukan hanya kemenangan, tetapi juga keberanian anak untuk tampil bersama dengan teman seumurannya (Familia, 2003: 18).

c. Anak perlu perlakuan khusus

Martani berpendapat bahwa anak-anak berbakat perlu diperlakukan secara istimewa. Namun, perlakuan tersebut tidak boleh berlebihan, tetapi haruslah khusus. Jika tidak diberikan perlakuan istimewa, bakat anak tersebut akan tersembunyi seperti mutiara dalam lumpur yang tidak diketahui oleh siapapun. Oleh karena itu, mutiara tersebut perlu diangkat dan diasah agar sinarnya dapat memancar dan terlihat oleh semua orang (Tim Pustaka Familia, 2006: 98).

Dalam mengembangkan bakat anak, ada pendapat yang menyatakan bahwa memberikan perlakuan khusus kepada anak berbakat dapat menciptakan kesenjangan dan kecemburuan. Tenaga pendidik yang terlibat juga harus memiliki kualifikasi intelektual dan emosional yang tertentu. Oleh karena itu, pengkotak-kotakan tertentu dianggap sebagai konsekuensi dari keberbakatan seorang anak. Selain itu, memberikan perlakuan khusus kepada anak-anak berbakat dianggap wajar dan sesuai, seperti memberikan sesuatu sesuai dengan kebutuhan mereka (Tim Pustaka Familia, 2006: 99).

Sebagian psikolog berpendapat bahwa keberbakatan seseorang berkaitan dengan tingkat kreativitas dan inovasi yang dimiliki. Anak-anak berbakat mampu menerapkan kemampuan mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Umumnya, mereka memiliki rasa ingin tahu yang besar dan mampu menyelesaikan masalah dengan cara yang kreatif. Hal ini tidak mengherankan, karena salah satu ciri anak berbakat adalah keunggulan intelektualnya (Tim Pustaka Familia, 2006: 100).

 C. Pengembangan Karakter Anak melalui Dongeng dan Cerita

a. Makna karakter

Dalam kamus bahasa Indonesia, kata "karakter" memiliki arti sebagai tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, budi pekerti, dan watak yang membedakan seseorang dengan orang lain. Seseorang yang memiliki karakter berarti memiliki kepribadian, perilaku, sifat, tabiat, atau watak yang khas. Berdasarkan penjelasan tersebut, karakter dapat diartikan sebagai watak dan sifat-sifat yang membedakan seseorang dengan orang lain. Selain itu, karakter juga dapat merujuk pada kepribadian seseorang (Wibowo, 2013: 8-9).

Orang tua memiliki banyak cara untuk mendidik anak dan membangun karakternya. Salah satunya adalah dengan membacakan dongeng atau cerita. Selain mengandung hikmah, cerita juga dapat membantu dalam pembentukan karakter anak. Anak-anak menyukai cerita karena dapat membangkitkan imajinasi mereka. Dengan imajinasi tersebut, anak-anak akan berusaha memahami cerita yang diceritakan kepada mereka. Oleh karena itu, cerita yang penuh dengan hikmah merupakan bagian penting dalam pendidikan anak-anak (Alimah dkk, 2012: 149-150).

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang orang tua atau guru tidak menyadari dampak dari sikap mereka terhadap anak yang justru dapat merusak keadaan mental anak. Misalnya, dengan melakukan kekerasan fisik atau memberikan saran negatif kepada anak, hal ini dapat membuat anak tersebut memiliki perilaku buruk, rendah diri, takut, dan tidak berani mengambil risiko, yang pada akhirnya karakter-karakter tersebut akan berdampak hingga masa dewasa.

b. Urgensi Dongeng dalam Membentuk Karakter Anak

Melalui dongeng, anak-anak dapat belajar kosakata baru, mengungkapkan perasaan seperti kegembiraan, kesedihan, kemarahan, serta menyerap nilai-nilai kebaikan. Orang tua atau guru yang ingin bercerita sebaiknya melakukannya tanpa menggunakan media, hanya dengan menggunakan suara dan ekspresi, sehingga anak dapat menggunakan imajinasinya. Jika menggunakan media seperti gambar, imajinasi anak kurang terlatih karena mereka dapat melihat gambar langsung (Alimah dkk, 2012: 152).

Pentingnya dongeng dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, ada tiga hal yang tidak pernah ditolak oleh anak, yaitu mendengarkan cerita, bermain, dan hadiah. Kedua, dongeng dapat mengubah karakter anak tanpa menyakiti, bahkan dengan penuh keceriaan. Ketiga, dongeng dapat mengembangkan imajinasi. Keempat, cerita dapat membantu anak menyadari kekuatan yang dimiliki. Kelima, cerita memudahkan pemenuhan harapan dan keinginan anak.

Fungsi cerita antara lain, cerita dapat membuka pintu dalam jiwa anak, menghadirkan cahaya kehidupan yang memberikan kesehatan. Cerita merupakan kumpulan cerita yang kita ciptakan, seperti anak kecil yang penuh vitalitas, menimbulkan rasa ingin tahu, dan selalu segar. Orang tua yang bercerita dalam suasana yang santai dan nyaman, dengan dramatisasi menggunakan intonasi suara yang berbeda, akan membuat anak tertarik untuk mendengarkannya. Dengan menikmati alur cerita, anak-anak akan merasa nyaman seiring berjalannya waktu (Thaha, 2009: 174).

c. Pengaruh cerita dalam menanamkan nilai-nilai yang baik pada diri anak

Ketika orang tua ingin mengajarkan sifat lemah lembut dan tidak membalas dendam kepada orang lain, mereka dapat menceritakan kepada anak mereka kisah tentang Nabi Muhammad Saw. dalam menghadapi orang Yahudi yang selalu menyakiti beliau. Dan jika seorang ibu ingin menanamkan nilai-nilai sosial dan mengutamakan kepentingan orang lain, dia dapat menceritakan kepada anaknya kisah Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang rela meletakkan matanya demi keselamatan Nabi Muhammad, seperti saat orang-orang Quraisy bersekongkol untuk membunuh Nabi Muhammad, Ali dengan sukarela tidur di tempat tidur Rasulullah (Thaha, 2005: 175).

Melalui cerita yang disampaikan orang tua kepada anak-anak, anak-anak akan merasa menjadi pahlawan seperti tokoh-tokoh dalam cerita tersebut. Mereka merasakan hidup dalam dunia nyata, bersama para nabi, pahlawan, pemimpin, dan penguasa. Ketika anak-anak terinspirasi oleh kisah-kisah kenabian yang diambil dari Al-Qur'an, mereka seolah-olah merasakan hidup pada masa Nabi. Mereka merasakan peristiwa-peristiwa tersebut seolah-olah ikut serta dalamnya (Alimah dkk, 2009: 151).

DAFTAR PUSTAKA


Aden Rangga, Serba-serbi Pendidikan Anak, Yogyakarta: Siklus, 2011.

Agus Wibowo, Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah: Konsep dan Praktik Implementasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013

Khairiyah Husain Thaha, Ibu Ideal: Peranannya dalam mendidik dan Membangun Potensi Anak, Surabaya: Risalah Gusti, 2009

Niken TF Alimah dkk, Bunda Sayang: 12 Ilmu Dasar Mendidik Anak, Jakarta: Gazza Media, 2012

Ratna Wulan, Mengasah Kecerdasan Pada Anak, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Tim Pustaka Familia, Warna-warni Kecerdasan Anak dan Pendampingannya,Yogyakarta: Kanisius, 2006

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun