Mohon tunggu...
Walter Balansa
Walter Balansa Mohon Tunggu... Dosen - I''m a dedicated life observer and learner

I'm marine natural product chemist by training but love English and writing. As a lecturer I teach several subjects related to chemistry and natural product in addition to teaching scientific writing and English including IELTS.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Sangihe Melawan Tambang

3 Desember 2024   11:25 Diperbarui: 3 Desember 2024   11:25 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sangihe Melawan Tambang

Janji-janji gemerlap kemakmuran ekonomi yang terpancar dari Indonesian Mining Summit (IMS) 2024 di Jakarta, yang diselenggarakan pada 4 Desember, terasa hampa bagi penduduk Sangihe. Sementara KTT tersebut mengkampanyekan eksploitasi emas yang berkelanjutan, bagi kepulauan yang kaya akan sumber daya ini, tambang emas bukanlah kunci emas menuju kekayaan, melainkan perjudian berbahaya yang mengancam ekosistemnya yang rapuh dan cara hidup leluhurnya. Ini adalah kisah perjuangan Sangihe -- sebuah pertarungan bukan hanya melawan praktik pertambangan yang merusak, tetapi juga untuk masa depan rakyat dan lingkungannya yang tak tergantikan.

Surga yang Terancam: Permata Segitiga Terumbu Karang

Terletak di jantung Segitiga Terumbu Karang (STC), kawasan keanekaragaman hayati seluas 6 juta kilometer persegi yang mencakup Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor-Leste, Sangihe memiliki keindahan kehidupan laut yang menakjubkan. Kawasan ini memiliki konsentrasi terumbu karang dan ikan karang tertinggi di dunia, berfungsi sebagai tempat pemijahan bagi banyak spesies dan sumber daya vital bagi jutaan orang. Sangihe, yang terjalin erat dengan kekayaan laut ini, sangat bergantung pada perikanan; 80% penduduknya tinggal di sepanjang pantai, mata pencaharian mereka terkait erat dengan kesehatan STC. Jaringan kehidupan ini kini terancam oleh kemajuan pertambangan tak terkendali.

Dampak Ekonomi Pertambangan Emas: Potensi dan Kontradiksi

Dampak ekonomi pertambangan emas memang sangat kuat namun kompleks dan seringkali kontradiktif. Studi di 29 negara Afrika sub-Sahara menunjukkan peningkatan lapangan kerja di sektor jasa dan pendapatan tunai yang lebih tinggi bagi laki-laki di dekat tambang emas industri -- dengan Newmont Ghana Gold melaporkan efek ganda lapangan kerja secara signifikan -- tetapi dampak ekonomi secara keseluruhan masih diperdebatkan. Beberapa studi menunjukkan bahwa penambangan artisanal atau pertambangan rakyat kecil dapat mendorong perubahan struktural yang lebih positif daripada operasi industri berskala besar, yang dapat mengganggu ekonomi lokal dan gagal memberikan manfaat yang luas.

Namun, janji peningkatan ekonomi dari penambangan artisanal atau rakyat kecil seringkali seperti sebuah fatamorgana. Studi di berbagai jurnal internasional tentang pertambangan menunjukkan bahwa kemakmuran bersifat sementara, biasanya hanya berlangsung sekitar sepuluh tahun, dan pendapatan yang diperoleh jarang dipertahankan. Sifat informal operasi ini mencegah akumulasi kekayaan yang substansial, menghasilkan tabungan rendah dan investasi jangka panjang yang minimal. Selain itu, biaya hidup yang lebih tinggi di dekat lokasi penambangan, karena penurunan pertanian, merusak keuntungan yang dirasakan. Keuntungan ekonomi jangka pendek ini sangat kontras dengan distribusi kekayaan yang tidak adil yang terlihat pada pertambangan industri. Sebagai contoh, PT Newmont Minahasa Raya (NMR) menghasilkan lebih dari 11 miliar rupiah per hari, namun hanya 10% yang tersisa di masyarakat lokal.

Kehancuran Lingkungan dan Bayangan Tragedi Minamata

Ketimpangan ekonomi tersebut menutupi bencana lingkungan yang lebih luas. Bekas-bekas kerusakan akibat pertambangan terlihat di seluruh Indonesia -- dari Pegunungan Meratus yang hancur di Kalimantan hingga perairan yang tercemar di dekat tambang Grasberg Papua. Sangihe menghadapi nasib serupa. Keanekaragaman hayati pulau ini berada di ambang kehancuran, mikrokosmos krisis global yang disebabkan oleh pertambangan yang tidak terkendali. Ancaman keracunan merkuri, yang disoroti dalam laporan seperti Global Biodiversity Outlook (2020) dan UN Special Rapporteur on Toxics and Human Rights (2022), sangat besar.

Warisan tragis Teluk Minamata mengintai yang mengindikasikan harga mahal kontaminasi merkuri akibat ulah manusia-- prospek yang mengerikan bagi Sangihe, mengingat penggunaan merkuri yang meluas dalam penambangan artisanal di Indonesia (dilaporkan sebanyak 213 kasus menurut Siti Nurbaya, mantan Menteri Lingkungan Hidup Indonesia). Kegiatan Pengabdian masrayakat kami baru-baru ini di Salurang, dekat lokasi tambang Sangihe, yang diterbitkan dalam Jurnal Pengabdian Wikrama Parahita, menjadi saksi kerusakan ini. Selama dua tahun, tim kami bekerja untuk memulihkan ekosistem pesisir melalui penanaman bakau dan budidaya spons, hanya untuk mengamati secara langsung dampak buruk sedimentasi, yang membuat perairan pesisir menjadi berlumpur dan menghancurkan tempat penangkapan ikan yang vital, termasuk hilangnya praktik penangkapan ikan tradisional Malembo Kahekuang di desa yang terdampak.

 

Pertarungan Daud dan Goliat

Lebih dari separuh dari 72.000 hektar lahan Sangihe telah dialokasikan untuk penambangan emas -- keputusan yang menentang logika dan akal sehat. Masyarakat Sangihe, yang telah menanggung beban dari penambangan artisanal yang tidak terkendali, kini menghadapi PT TMS (Tambang Mas Sangihe), sebuah perusahaan Kanada yang diberi izin untuk beroperasi di wilayah yang luas ini. Namun, izin ini perlu dievaluasi kembali berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 169 tahun 2024, yang baru ditandatangani pada 5 November 2024, dan secara langsung membahas praktik pertambangan yang berkelanjutan.

Lebih lanjut, operasi perusahaan tersebut tampaknya melanggar Pasal 23 Ayat (2) dan Pasal 35 Huruf k Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), yang melarang kegiatan pertambangan yang mengancam kehidupan seluruh makhluk dan ekosistem di pulau-pulau kecil seperti Sangihe. Selain itu, pernyataan pemerintah Indonesia baru-baru ini yang menyatakan bahwa kegiatan penambangan ilegal (melanggar UU No. 3 tahun 2020) akan dikenai sanksi pidana (hingga 5 tahun penjara dan denda maksimal 100 miliar rupiah) seharusnya menjadi dasar untuk penegakan hukum yang lebih kuat terhadap penambangan rakyat secara ilegal.

Perjuangan masyarakat Sangihe memang telah membuahkan hasil. Mahkamah Agung, setelah pertempuran hukum yang panjang yang dipimpin oleh koalisi Save Sangihe Island (SSI), secara sementara menghentikan operasi TMS. Namun, kemenangan ini rapuh. Dugaan penambangan ilegal, mungkin di bawah kedok TMS, terus berlanjut, memperlihatkan keterbatasan pertempuran hukum saja. Tanggapan pemerintah daerah yang lamban dan penyangkalan tanggung jawab TMS, sementara secara bersamaan mengisyaratkan pengajuan izin kembali, menyoroti kebutuhan intervensi tegas dari Jakarta.

 

Jalan Menuju Masa Depan Berkelanjutan

Mengandalkan tantangan hukum tentu saja tidaklah cukup. Strategi yang lebih komprehensif diperlukan. Keindahan alam dan kekayaan sumber daya laut Sangihe menawarkan jalan menuju kemakmuran berkelanjutan, jauh melampaui keuntungan sesaat dari pertambangan. Perhatikan Taman Nasional Bunaken: terumbu karang yang hidup, yang dipenuhi kehidupan -- termasuk 175 spesies siput laut yang mengesankan -- menarik minat wisatawan yang signifikan, seperti yang ditulis Prof. Heike Wagaele dalam Diversity MDPI. Model ini menunjukkan kekuatan ekonomi konservasi. Dengan tutupan karang hidup 55% pada kedalaman 3 meter, ekowisata Bunaken menghasilkan pendapatan masyarakat lokal Rp 15.834.861.419,63 dan pendapatan pemerintah Rp 1.751.770.691,04 dalam studi simulasi tahun 2035.

Meskipun keanekaragaman hayati laut Sangihe, dengan 23 spesies siput laut dan tutupan karang hidup 62.4% pada kedalaman 5 meter menurut laporan dari Wagaele maupun Skripsi dari Prasetya Agung mungkin tampak kurang luas daripada Bunaken. Tetapi perkiraan kasar menunjukkan bahwa hal itu masih dapat menghasilkan sebagian dari output ekonomi Bunaken, berpotensi mencapai 1.583.486.141,96 rupiah pada 2035 berdasarkan penskalaan proporsional dari model Bunaken. Potensi ini semakin diperkuat oleh fitur vulkanik bawah laut Sangihe yang unik, seperti Banua Wuhu di Mahengetang, yang menambah daya tarik wisata yang menarik.

Selain pariwisata, kontribusi Sangihe terhadap industri perikanan kawasan ini tidak dapat disangkal. Bersama dengan wilayah Talaud, wilayah ini menyediakan 7% (7.340 ton) dari tangkapan tuna di zona penangkapan ikan WPPNRI 716 (Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia) menurut buku karya Agus Setiawan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional. Praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan, ditambah dengan perencanaan ekowisata dan budidaya tanaman bernilai tinggi, dapat membuka peluang manfaat ekonomi yang serupa, memastikan masa depan yang jauh lebih stabil dan adil daripada booming tambang yang berumur pendek.

Untuk mengamankan masa depan Sangihe, Indonesia harus memprioritaskan pendekatan multi-dimensi: memperkuat peraturan dan penegakan lingkungan (termasuk perombakan komprehensif proses AMDAL); berinvestasi dalam alternatif pembangunan berkelanjutan, yang berfokus pada peningkatan kapasitas untuk ekowisata, perikanan dan kebaharian yang bertanggung jawab, dan pertanian bernilai tinggi; dan memerangi korupsi untuk memastikan bahwa manfaat dari inisiatif ini sampai kepada masyarakat lokal. Kolaborasi dan dukungan internasional sangat penting, terutama melalui mekanisme pendanaan yang secara langsung membahas perlindungan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.

Memilih Masa Depan Berkelanjutan

Nasib Sangihe terkait erat dengan kesehatan Segitiga Terumbu Karang dan masa depan keberlanjutan global. Pilihan yang dihadapi Indonesia bukan hanya masalah lokal; ini mewakili keputusan yang lebih luas antara keuntungan ekonomi jangka pendek dan komitmen terhadap kesejahteraan jangka panjang planet ini. Seperti yang diamati oleh tetua Sangihe, Soleman Pontoh, "Jika kita berinvestasi pada cengkeh, pala, dan kelapa, kita akan hidup selamanya, tetapi jika kita berinvestasi pada emas, kita sedang menggali kuburan kita sendiri." Pilihan tegas ini menunjukan urgensi untuk memprioritaskan praktik berkelanjutan, bukan hanya untuk Sangihe, tetapi untuk seluruh Segitiga Terumbu Karang dan dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun