Semakin banyak opsi untuk berbagai hal, termasuk pelayanan kesehatan. (Andrianto dan Fajrina, 2021: 70, https://jurnal-mhki.or.id/jhki) Kini, opsi pelayanan kesehatan jarak jauh konsultasi dokter melalui aplikasi telemedisin tersedia. Telemedisin adalah penggunaan teknologi komunikasi informasi untuk menyampaikan pelayananan kesehatan di antara dua pihak yang berjauhan (Gogia, 2019: 11, https://www.google.co.id/books/edition/Fundamentals_of_Telemedicine_and_Telehea/R165DwAAQBAJ?hl=en&gbpv=0 ).
Aplikasi telemedisin seperti halodoc, The Good Doctor, Klikdokter bermunculan. Namun, aplikasi semacam itu ternyata tidak memiliki status fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), melainkan sebatas izin dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Bernadetha Aurelia Oktavira,https://www.hukumonline.com/klinik/a/aturan-tentang-konsultasi-dokter-jarak-jauh-itelemedicine-i-lt5db2b3d5e618b).Â
Hal ini menyebabkan aplikasi telemedisin tidak dapat dimintai tanggung jawab yang dibebankan pada fasyankes secara umum seperti menjaga kerahasiaan rekam medis pasien dan pertanggungjawaban malpraktik.
Ketiadaan tanggung jawab dari aplikasi telemedisin ini menimbulkan suatu permasalahan baru di mana terdapat pengguna aplikasi yang menggugat dokter di aplikasi tersebut akan kekeliruan diagnosis dan hal sebagainya.
 Terdapat dua pertanyaan utama yang muncul jika terjadi kejadian seperti itu, yaitu "apakah salah diagnosis tergolong risiko medis atau malpraktik?" dan "apakah aplikasi telemedisin dapat dibebani tanggung jawab fasyankes jika melakukan salah diagnosis?" sebelum mengkaji dua hal tersebut, perlu diberikan beberapa definisi terlebih dahulu mengenai risiko medis dan malpraktik.
Risiko medis dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi tak pasti yang tidak diharapkan dalam sebuah aktivitas medis (Kholib, 2020: 249, https://ejournal.insuriponorogo.ac.id/index.php/almanhaj/article/view/481). Sementara itu, malpraktik dapat didefinisikan sebagai sikap tindak profesional keliru atau salah yang dapat mengakibatkan hal buruk pada penerimanya (Machmud, 2008: 23-24, http://mandarmaju.com/main/detail/322/Penegakan-Hukum-Dan-Perlindungan-Hukum-Bagi-Dokter-Yang-Diduga-Melakukan-Medikal-Malpraktek).Â
Malpraktik juga kadang membuat hubungan pasien dengan dokter menjadi keruh, terutama dalam hal litigasi (Laurie, Harmon, dan Dove, 2019: 109, https://www.google.co.id/books/edition/Mason_and_Mccall_Smith_s_Law_and_Medical/cCiPDwAAQBAJ?hl=en&gbpv=0). Maka dari itu, kedua hal ini akan menjadi pembahasan utama terkait klasifikasi salah diagnosis itu sendiri, terutama di dalam aplikasi kesehatan.Â
Secara yuridis sendiri, permasalahan mengenai hal medis secara umum diatur di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Kedokteran). Dalam UU Kedokteran tersebut, diatur segala hal mengenai praktik kedokteran secara konvensional.Â
Namun, fokus permasalahan dalam hal telemedisin sebagai suatu hal baru dalam dunia kedokteran dapat ditemukan di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Permenkes Telemedisin) yang selanjutnya diikuti dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 74 Tahun 2020 tentang Kewenangan Klinis dan Praktik Kedokteran Melalui Telemedicine pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 di Indonesia.
Diagnosis sebagai salah satu bentuk praktik dokter yang tercantum pada Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 adalah aksi mengidentifikasi sifat suatu penyakit dari seseorang dengan menguji dan studi secara seksama untuk menemukan karakterisik atau kesalahan pada objek penelitian.Â
(Suherman, 2011) Tenaga medis yang melaksanakan juga tidak sembarang sarjana pada bidang kedokteran. Pada pasal tersebut, Tenaga medis mencakup dokter gigi dan dokter yang memiliki wewenang dalam melakukan praktik kedokteran adalah setiap tenaga medis yang memiliki surat tanda registrasi. Maka dari itu, identifikasi dokter berdiri sendiri sebagai diagnosis terlepas dilakukan atau tidaknya studi seksama seperti tes laboratorium untuk membantu pengambilan keputusan.Â
Namun, dalam melaksanakan diagnosis, dokter dari rumah sakit yang berbeda-beda memiliki Standard Operational Procedure (SOP) yang berbeda juga. Hal demikian menjadi permasalahan apabila terjadi kesalahan diagnosis oleh dokter.Â
Sebagaimana yang disebutkan oleh ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bahwa tenaga medis diindikasikan telah melakukan malpraktek apabila terdapat pelanggaran Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) atau Standar Profesi Kedokteran dan ditentukan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). (Takdir, 2018: 18, http://repository.iainpalopo.ac.id/id/eprint/303/1/LAYOUT%20-%20PENGANTAR%20HUKUM%20KESEHATAN.pdf) Â
Di lain sisi, risiko medis sebagai kondisi tidak diinginkan yang diketahui bagi tenaga medis dengan pasien dalam menentukan pelaksanaan praktik kedokteran. Kesalahan diagnosis sebagai kejadian yang tidak diinginkan bagi kedua pihak dapat berperan sebagai risiko yang seyogianya diantisipasikan sebelum pelaksanaan.Â
Dengan demikian, dalam menghadapi ketiadaannya pelanggaran pada kasus kesalahan diagnosis dapat menjadi titik balik untuk mengikutsertakan kesalahan diagnosis tanpa pelanggaran, sebagai salah satu risiko medis yang disetujui pada informed consent dan menjadi pertimbangan bagi pasien sebelum dilakukannya diagnosis. (Christine Grady, et.al., 2017 : 856, https://www.proquest.com/docview/1873745603 )
Kesalahan diagnosis pun tidak hanya terjadi pada pelayanan kesehatan secara langsung. Kesalahan yang mengakibatkan salah diagnosis kerap terjadi secara online melalui platform penghubung ataupun resmi sebagai aplikasi telemedisin. (Agus Surono, 2016: 154) Dalam menanggapi keberadaan telemedisin, ditetapkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 20 Tahun 2019 yang mencantumkan fasilitas pelayanan kesehatan sebagai pelayanan kesehatan jarah jauh yang diberikan oleh profesional kesehatan mencakup pertukaran informasi diagnosis, pengobatan dan lainnya.Â
Akan tetapi, tidak semua telemedisin adalah fasilitas pelayanan kesehatan, melainkan sebatas penyedia informasi kesehatan. Hal ini dapat berlaku karena terdapat aplikasi yang dikembangkan secara mandiri atau yang tidak mendaftarkan diri sebagai telemedisin resmi kepada Menteri Kesehatan.Â
Di lain sisi, mereka mendaftarkan diri sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kondisi ini menimbulkan kerancuan dalam menentukan sanksi serta subjek tujuan terhadap kasus malpraktek pada telemedisin, tetapi juga keterbatasan lingkup pembahasan pada Permenkes 20/2019 terhadap pengguna maupun penyedia jasa yang terlibat pada telemedisin.
Terhadap kasus yang melibatkan gugatan perdata bagi dokter, aplikasi telemedesin bukan fasyankes tidak menanggung gugat perdata yang ditujukan kepada dokter sebagaimana seharusnya fasilitas pelayanan kesehatan pada pasal 1367 KUH Perdata.
(Hikmah Yuli, et.al., 2020: 48, https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh/article/view/23435 ) Tidak seperti rumah sakit konvensional, mereka bukanlah subyek hukum yang berperan sebagai pendukung hak dan kewajiban.
(Panji Maulana, 2019: 420, http://202.4.186.66/SKLJ/article/view/12557 ) Hal ini menjadi indikator keperluan pengembangan regulasi telemedisin yang ada untuk mengatasi isu pengembanan tanggung jawab telemedisin dalam kesalahan praktik secara online kedepannya. UU No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran hingga UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan menjadi regulasi yang harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi berupa telemedisin agar jaminan terhadap pasien beserta etos kerja dokter yang dilaksanakan dapat diatur secara komprehensif terlepas dari pelaksanaan yang mudah diakses dan tidak langsung.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa risiko medis yang umum dan telah diatur di dalam undang-undang. Dalam dunia telemedisin, risiko medis yang umum terjadi adalah salah diagnosis.Â
Pada dasarnya, telemedisin boleh menjadi fasyankes apabila dokter yang menangani sudah sesuai dengan regulasi dan standar operasional yang berlaku sehingga meminimalisir risiko medis. Namun, tetap saja telemedisin yang berperan sebagai fasyankes rentan menjadi tempat terjadinya malpraktik sebagai salah satu risiko medis.
Hal ini karena prosedur pelayanan telemedisin yang kurang efektif dan cenderung satu arah, yaitu pasien melakukan diagnosa sendiri atas arahan dokter. Selain itu, regulasi yang mengatur telemedisin juga masih terlalu sempit dan belum kuat. Perlu dilakukan suatu pengembangan lagi agar prosedur penyediaan dan penggunaan layanan kesehatan telemedisin dapat lebih komprehensif dan aman bagi pengguna maupun dokter yang terlibat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H