Sebaliknya, kerbehasilan memahami gagasan itu membawa banyak dampak positif. Kita dapat membantu remaja mendapatkan informasi yang benar dan jujur mengenai seks dan akses layanan kesehatan reproduksi serta mengekspresikan seksualitas mereka dengan cara yang sehat dan aman—cara-cara yang pada gilirannya akan mengurangi KTD dan aborsi pada remaja.
Sebetulnya dukungan untuk pendidikan seks sudah mulai marak di Indonesia. Tapi, kita tak boleh lupa bahwa dampak keberhasilannya cuma sekitar 18% sedangkan penggunaan alat kontrasepsi secara efektif menyumbang 82% keberhasilan. Dengan kata lain, untuk memerangi aborsi, pemerintah harus menerapkan pendidikan seks terintegrasi sekaligus mempermudah akses alat kontrasepsi untuk pasangan kawin maupun remaja.
Dengar apa kata Gubernur DKI Jakarta, Basuki Cahaya Purnama tentang isu ini! “Orang Jakarta harus dipaksa mengecek status HIV-nya. Kalau mau ‘nakal’ tetap pakai kondom ini bukan hal yang memalukan”.
Sesungguhnya, kata Bernard Gerd dari Harvard, “pendidikan seks maupun penyediaan alat-alat pencegah kehamilan tak menyalahi aturan atau moral manapun”.
Jika agama yang akan dijadikan alasan, maka laporan hasil riset Guttmacher Institute dapat menjadi referensi buat kita. Untuk kasus serumit aborsi pun, ternyata 82% pemuka agama masih bisa mendapatkan titik temu, menyetujui praktek aborsi pada kandungan yang membahayakan nyawa ibu.
Jadi, jika pendidikan seks dan penggunaan alat kontrasepsi secara efektif atau kombinasi dari dari keduanya dapat menekan KTD dan angka aborsi atau dengan kata lain menyelamatkan jutaan nyawa, haruskah kita menunda penerapan kedua metode ini sementara korban terus berjatuhan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H