Mohon tunggu...
Walter Balansa
Walter Balansa Mohon Tunggu... -

A lifelong learner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masalah Revisi UU Anti Teror

2 Februari 2016   16:14 Diperbarui: 2 Februari 2016   17:11 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menyusul serangan teroris di Jalan Thamrin awal tahun ini, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendaftarkan revisi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 (UU Anti Teror) ke Program Prioritas Legislasi Nasional 2016 pada tanggal 26 Januari lalu. Dalam sekejap mata, sejumlah pihak pun ramai-ramai bergabung dalam arak-arakan kelompok pendukung ide pemerintah dan DPR itu seperti tim sukses di musim pemilukada.

Namun bagi banyak pihak lain, amandemen ini tak ubahnya menggarami air laut, tidak efektif untuk menuntaskan masalah terorisme di Indonesia dan justru berpotensi menciptakan masalah-masalah baru.

Menurut pakar hukum pidana, profesor Andi Hamzah, dan para pendukung revisi lainnya, amandemen itu ampuh jika mengatur antara lain (a) perluasan wewenang kepolisian, (b) penangkalan radikalisasi lewat agama, pemberantasan kemiskinan dan penyediaan lapangan kerja, (c) hukuman lebih berat dan lapas khusus untuk mendukung program deradikalisasi dan (d) larangan penerbitan paspor maupun pencabutan hak kewarganegaraan bagi mereka yang berjihat di luar Indonesia.

Tetapi bagi pengamat terorisme dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Zaki Mubarak, para penggagas revisi ini sebetulnya tidak tahu apa yang mereka lakukan. “Akar persoalan terletak bukan pada undang-undang tapi peningkatan kapasitas kepolisian dan intelijen di tanah air. Itu yang mesti di-upgrade [ditingkatkan) jangan salahkan undang-undangnya” katanya.

Argumen Mubarak memang beralasan karena memenjarakan teroris di lapas khusus sekalipun belum tentu memecahkan masalah. Menurut Dirjen PAS Untung Sugiono, para teroris bisa saling tukar informasi dan konsolidasi jika mereka dipenjara di lapas khusus. Menempatkan mereka di penjara dengan keamanan maksimum pun sangat tidak efektif dan memberikan hasil terbalik ungkap Dr. Clarke Jones dari Australian National University.

Sementara itu, peneliti Indonesian Corruption Watch Johnson Panjaitan mengendus ada permainan di balik rencana revisi UU No. 15 Tahun 2003 ini. Tiap kali ada kasus seperti ini [serangan teroris], para pihak terkait selalu saja meminta perluasan kewenangan dan tentu saja ini ujung- ujungnya uang lagi bukan untuk para prajurit pelaksana di lapangan apalagi
untuk rakyat, tapi untuk para elit tuduhnya.

Masalah lain terkait perluasan kewenangan polisi maupun pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemberantasan terorisme ialah peluang melanggar hak asasi manusia dan menuntut pemerintah membuat keputusan politik kata Koodinator Kontras Usman Hamid. “Kalau memakai Undang-undang Kepolisian, perlu Peraturan Pemerintah untuk TNI melakukan perbantuan tugas polisi. Jika memakai UU TNI, maka perlu aturan sekelas UU untuk TNI bisa terlibat lebih jauh dalam pemberantasan terorisme”.

Tapi persoalan tidak berhenti di situ karena pelibatan TNI menurut Usman hanya pada kejahatan teror yang mengancam kedaulatan negara atau ada ancaman eksternal. Ia mencontohkan Amerika Serikat yang dalam pemberantasan antiterorisme hanya menggunakan operasi militer di luar wilayahnya seperti di wilayah Afghanistan atau Guantanamo.

Dengan kata lain, revisi undang-undang anti teror ini berpotensi melanggar hak asasi manusia dan menabrak berbagai UU lain, menciptakan reaksi berantai revisi berbagai undang-undang lain.

Padahal berbagai perangkat hukum pendukung undang-udang anti teror sebetulnya sudah tersedia tinggal tergantung kemampuan pihak-pihak terkait untuk menyelaraskannya kata Direktur Imparsial Al Araf. Selain itu, Al Araf menambahkan bahwa dengan perangkat undang-undang yang sama Indonesia sebenarnya cukup berhasil mengatasi berbagai masalah teroris seperti Nurdin M. Top dan juga peristiwa teror di Jalan Thamrin.

Selain itu, radikalisme hanyalah sebagian dari potret utuh dari teka-teki penyebab terorisme sehingga pemerintah dan pihak terkait perlu mencari bukti-bukti empiris bukan hanya memelototi dan mengertakan gigi pada radikalisasi.

Beberapa sumber penting bukti empiris terkait tindakan terorisme adalah sistim legal (hakim dan pengadil), penegakan hukum, intelejen, penelitian dan sumber dana teroris kata pakar keamanan internasional Profesor Greg Austin.

Lewat bukunya “A Decade Lost”, profesor Kudnani menyerukan bahaya mengabaikan faktor-faktor nyata di balik terorisme. “Kegagalan mencari bukti-bukti empirik dan menyalahkan redikalisasi sebagai biang kerok [tunggal] terorisme telah menyebabkan pengucilan dan kecurigaan terhadap umat muslim, menempatkan dunia dalam posisi kurang aman dan menghasilkan upaya pemberantasan terorisme yang counter-productive” (hasil berlawanan) ungkapnya.
Itulah sebabnya kita harus keluar dari pendapat bahwa radikalisme adalah penyebab tunggal terorisme. Menurut Profesor Austin radikalisme dan terorisme adalah dua mahkluk buas dengan wujud berbeda secara legal, politik, psikologis maupun moral.

Pendapat serupa bergema pada pernyataan John Horgan, Direktur Pusat Studi Internasional di Universitas Pennsylvania, yang mengatakan bahwa “Banyak orang dengan ide radikal tetapi tidak terlibat dalam kekerasan [kelompok Salasifme misalnya] dan banyak bukti juga bahwa sebagian anggota teroris tidak radikal”.

Untuk program deradikalisasi, meskipun upaya ini mampu menginsyafkan beberapa teroris, keefektifan program ini masih dipertanyakan karena beberapa pelaku bom Thamrin di awal tahun ini adalah para “wisudawan” program deradikalisasi.

Tentu saja larangan penerbitan paspor, pencekalan para teroris atau penindakan atas rencana awal teror akan membatasi gerakan teroris dan dapat mengurangi tindakan terorisme di Indonesia. Tapi jangan lupa juga bahwa sebagian besar aktivitas rekrutmen, propaganda dan rencana serangan mereka seberakan melalui Internet dan media sosial. Masalahnya, pemerintah dan pihak terkait belum gesit mengatasi cybercrime.

Untuk itu, pemerintah dan pihak terkait sebaiknya memperbaiki kemampuan di bidang cybercrime, menyediakan sumberdaya maupun perangkat hukum untuk mendukung upaya menyaring dan/atau memblokir informasi berbau teror.

Selain itu, pemerintah dan pihak terkait juga sepatutnya memberikan perhatian lebih serius pada harmonisasi dan penyelasaran berbagai hukum tersedia.

Bayangkan jika pemerintah membantu semua pihak pemberantas terorisme meningkatkan kapasitas dan profesionalitas mereka dalam memerangi terorisme. Malahan, pemerintah dan DPR bersekongkol merevisi UU Anti Teror—yang bukan saja tidak bermasalah tapi revisinya berpotensi menimbulkan masalah baru—membuat kita bertanya-tanya apakah pemerintah dan DPR memang peduli dengan pemberantasan atau dengan proyek-proyek pemberantasan teroris di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun