Beberapa sumber penting bukti empiris terkait tindakan terorisme adalah sistim legal (hakim dan pengadil), penegakan hukum, intelejen, penelitian dan sumber dana teroris kata pakar keamanan internasional Profesor Greg Austin.
Lewat bukunya “A Decade Lost”, profesor Kudnani menyerukan bahaya mengabaikan faktor-faktor nyata di balik terorisme. “Kegagalan mencari bukti-bukti empirik dan menyalahkan redikalisasi sebagai biang kerok [tunggal] terorisme telah menyebabkan pengucilan dan kecurigaan terhadap umat muslim, menempatkan dunia dalam posisi kurang aman dan menghasilkan upaya pemberantasan terorisme yang counter-productive” (hasil berlawanan) ungkapnya.
Itulah sebabnya kita harus keluar dari pendapat bahwa radikalisme adalah penyebab tunggal terorisme. Menurut Profesor Austin radikalisme dan terorisme adalah dua mahkluk buas dengan wujud berbeda secara legal, politik, psikologis maupun moral.
Pendapat serupa bergema pada pernyataan John Horgan, Direktur Pusat Studi Internasional di Universitas Pennsylvania, yang mengatakan bahwa “Banyak orang dengan ide radikal tetapi tidak terlibat dalam kekerasan [kelompok Salasifme misalnya] dan banyak bukti juga bahwa sebagian anggota teroris tidak radikal”.
Untuk program deradikalisasi, meskipun upaya ini mampu menginsyafkan beberapa teroris, keefektifan program ini masih dipertanyakan karena beberapa pelaku bom Thamrin di awal tahun ini adalah para “wisudawan” program deradikalisasi.
Tentu saja larangan penerbitan paspor, pencekalan para teroris atau penindakan atas rencana awal teror akan membatasi gerakan teroris dan dapat mengurangi tindakan terorisme di Indonesia. Tapi jangan lupa juga bahwa sebagian besar aktivitas rekrutmen, propaganda dan rencana serangan mereka seberakan melalui Internet dan media sosial. Masalahnya, pemerintah dan pihak terkait belum gesit mengatasi cybercrime.
Untuk itu, pemerintah dan pihak terkait sebaiknya memperbaiki kemampuan di bidang cybercrime, menyediakan sumberdaya maupun perangkat hukum untuk mendukung upaya menyaring dan/atau memblokir informasi berbau teror.
Selain itu, pemerintah dan pihak terkait juga sepatutnya memberikan perhatian lebih serius pada harmonisasi dan penyelasaran berbagai hukum tersedia.
Bayangkan jika pemerintah membantu semua pihak pemberantas terorisme meningkatkan kapasitas dan profesionalitas mereka dalam memerangi terorisme. Malahan, pemerintah dan DPR bersekongkol merevisi UU Anti Teror—yang bukan saja tidak bermasalah tapi revisinya berpotensi menimbulkan masalah baru—membuat kita bertanya-tanya apakah pemerintah dan DPR memang peduli dengan pemberantasan atau dengan proyek-proyek pemberantasan teroris di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H