Mohon tunggu...
Walter Balansa
Walter Balansa Mohon Tunggu... -

A lifelong learner

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Menyembuhkan SHP (Sindrom Harapan Palsu)

14 Januari 2016   13:12 Diperbarui: 15 Januari 2016   04:41 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Penasaran mengapa semangat dan ikrar kita yang menggebu-gebu untuk menjadi pribadi lebih baik di Tahun Baru kini seolah-olah menguap padahal kita masih di pertengahan bulan Januari? Ternyata Professor Janet Polivy dari Universitas Toronto Canada punya jawaban dan nama keren untuk fenomena ini, False Hope Syndrom atau “Sindrom Harapan Palsu” (SHP). Menurut Polivy, fenomena ini terjadi karena kita memandang perubahan tabiat semudah membalikan telapak tangan sehingga kita tergoda untuk membuat resolusi tahun baru yang tidak realistis.

Setali tiga uang, hasil penelitian menunjukan bahwa dalam satu minggu saja, 25% dari pembuat resolusi sudah patah arang. Tapi ini belum kiamat. Kita masih dapat menyusunnya kembali karena meskipun harapan palsu biasanya hanya berumur seminggu, harapan realistis bisa bertahan lama.

Apa yang paling kita butuhkan untuk menjaga asa dari resolusi tahun baru kita adalah memberi makna, menerapkan strategi SMART (pintar) dan membangun kebiasaan baru.

Tentu saja, jalan menuju sasaran-sasaran itu berkelok dan terjal. Menurut Dr Daniel Galser, Direktur Scince Gallery di King’s Colleage London, “otak manusia sudah diprogram untuk menemukan/mencari hal-hal baru, menarik dan menantang” sehingga sulit untuk mewujudkan rencana jangka panjang dan itu-itu saja seperti pada resolusi tahun baru. Selain itu, hasil riset membuktikan bahwa hanya 8% dari pembuat resolusi tahun baru yang berhasil menjadikan mimpi mereka kenyataan.

Tetapi bagi psikolog seperti William James, keberhasilan itu berhubungan dengan kebiasaan karena “Semua kehidupan kita, apapun bentuknya, tak lain adalah kumpulan kebiasaan,” tulisnya. Pandangan ini didukung oleh hasil penelitian para peneliti dari Duke University yang menemukan bahwa lebih dari 40 persen tindakan kita setiap hari sebetulnya bukan berasal dari keputusan yang benar-benar kita pikir secara matang, tetapi berasal dari kebiasaan.

Lalu bagaimana cara kita mengubah kebiasaan?

Mungkin ekperimen yang dilakukan oleh Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) boleh menginspirasi kita. Dalam sebuah eksperimen yang dilakukan pada sejumlah astronot, NASA menemukan bahwa otak manusia membutuhkan kira-kira tiga puluh hari untuk membentuk kebiasaan baru.

Artinya, jika kita melakukan satu aktivitas baru (misalnya bangun jam 4 pagi, berolah raga, menulis dll.) secara rutin, secara sadar dan secara sengaja selama 30 hari berturut-turut, maka upaya ini akan makin mudah hari demi hari dan setelah 30 hari, kegiatan itu akan menjadi sebuah kebiasaan baru.

Tahun 1989 misalnya, saya pertama kali sungguh-sunguh berniat bangun subuh (jam 4 pagi) untuk belajar. Karena saya belum pernah melakukannya, maka pada minggu pertama, saya bukan belajar tapi tidur. Aktivitas ini pun terasa sangat menyiksa awalnya dan membuat saya hampir putus asa. Tetapi setelah melakukannya secara rutin selama dua minggu, kegiatan ini terasa makin mudah dan satu bulan kemudian hingga sekarang, belajar pada jam 4 pagi bukan lagi masalah karena telah menjadi sebuah kebiasaan.

Tak heran dalam bukunya Getting Things Done (menuntaskan pekerjaan), David Allen menulis “kebiasaan itu adalah vaksin atau obat penangkal untuk kita mengatasi berbagai krisis atau keadaan darurat yang bakal timbul akibat tuntutan pekerjaan sehari-hari”.

Selain itu, resolusi tahun baru kemungkinan besar bisa terwujud jika kita menerapkan teknik pintar atau SMART. Dengan teknik ini resolusi haruslah Specific (spesifik), Measurable (terukur), Attainable (dapat dicapai), Relevant (relefan) dan Time-bound (waktunya ditentukan), SMART!

Sebagai contoh, saya ingin membaca buku teks selama dua jam itu tidak spesifik sedangkan saya ingin membaca 10 lembar buku IPA Bab 1 selama satu jam itu spesifik. Saya ingin memperbaiki kemampuan akademik itu tidak terukur, tetapi saya ingin mendapatkan IPK 3.0 tanpa nilai C itu terukur. Saya akan belajar 40 jam seminggu itu sulit dicapai tetapi saya akan belajar satu jam untuk tiap mata kuliah yang saya kontrak itu lebih mudah dicapai. Selanjutnya, saya ingin meninjau semua konsep mata kuliah yang saya kontrak itu kurang relevan, tetapi saya akan membahas dengan tutor konsep mata kuliah yang saya kurang paham itu relevan. Terakhir, saya ingin lulus itu tidak mencerminkan waktu yang ditentukan sedangkan saya akan menyelesaikan kuliah dalam waktu kurang dari 4.5 tahun dengan mengambil 5 mata kuliah tiap semester itu waktunya ditentukan.

Untuk contoh praktis, mari kita lihat resolusi tahun 2016 dari big boss Facebook, Mark Zuckerber yang ingin berlari sejauh 365 mil tahun 2016. Jika kita hanya membaca baris ini saja, kita akan mengganggap bahwa resolusi Zuckerber tidaklah SMART dan nasibnya tak beda dengan 92% pembuat resolusi tahun baru lainnya yang gagal mewujudkan mimpi mereka.

Tetapi Zuckerber menjelaskan lebih lanjut bahwa “365 mil itu berarti 1 mil atau 10-20 menit lari per hari”. Ia membagi resolusinya menjadi bagian-bagian lebih kecil yang lebih mudah dicapai, sehingga sasaran-sasarannya realistis, SMART!

Selanjutnya, professor Acacia Parksdari Hiram College Ohio Amerika Serikat juga berpendapat bahwa pemaknaan adalah salah satu kunci untuk mewujudkan resolusi. “Sebagai seorang peneliti, aku menemukan bahwa jawaban untuk pertanyaan [mengenai keberhasilan] apa saja biasanya berhubungan dengan salah satu aspek dari kebahagiaan yakni pemaknaan” tuturnya.

Parks percaya bahwa “Jika Anda menyeduh makna” pada resolusi tahun baru, Anda akan meningkatkan keberhasilan Anda secara dramatis”. Ia mendasari argumennya pada hasil penelitian Adam Grant yang menemukan bahwa orang-orang yang pekerjaanya dihargai bekerja 171% lebih keras dari mereka yang tidak. Singkatnya, “pemaknaan punya semacam “percikan khusus” dan dapat “meningkatkan motivasi” imbuhnya.

Upaya mewujudkan resolusi tahun baru memang tidak mudah. Tak jarang pula resolusi yang kita buat tidak realistis dan kita malah terkesan seperti pengidap sindrom harapan palsu. Tetapi, kita masih punya harapan untuk menyembuhkan sindrom ini karena mengubah kebiasaan, menerapkan teknik SMART dan memberikan pemaknaan terhadap resolusi tahun baru bisa membawa kita kembali ke jalur yang benar menuju ke sasaran-sasaran yang kita idam-idamkan di tahun ini, semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun