Sebagai contoh, saya ingin membaca buku teks selama dua jam itu tidak spesifik sedangkan saya ingin membaca 10 lembar buku IPA Bab 1 selama satu jam itu spesifik. Saya ingin memperbaiki kemampuan akademik itu tidak terukur, tetapi saya ingin mendapatkan IPK 3.0 tanpa nilai C itu terukur. Saya akan belajar 40 jam seminggu itu sulit dicapai tetapi saya akan belajar satu jam untuk tiap mata kuliah yang saya kontrak itu lebih mudah dicapai. Selanjutnya, saya ingin meninjau semua konsep mata kuliah yang saya kontrak itu kurang relevan, tetapi saya akan membahas dengan tutor konsep mata kuliah yang saya kurang paham itu relevan. Terakhir, saya ingin lulus itu tidak mencerminkan waktu yang ditentukan sedangkan saya akan menyelesaikan kuliah dalam waktu kurang dari 4.5 tahun dengan mengambil 5 mata kuliah tiap semester itu waktunya ditentukan.
Untuk contoh praktis, mari kita lihat resolusi tahun 2016 dari big boss Facebook, Mark Zuckerber yang ingin berlari sejauh 365 mil tahun 2016. Jika kita hanya membaca baris ini saja, kita akan mengganggap bahwa resolusi Zuckerber tidaklah SMART dan nasibnya tak beda dengan 92% pembuat resolusi tahun baru lainnya yang gagal mewujudkan mimpi mereka.
Tetapi Zuckerber menjelaskan lebih lanjut bahwa “365 mil itu berarti 1 mil atau 10-20 menit lari per hari”. Ia membagi resolusinya menjadi bagian-bagian lebih kecil yang lebih mudah dicapai, sehingga sasaran-sasarannya realistis, SMART!
Selanjutnya, professor Acacia Parksdari Hiram College Ohio Amerika Serikat juga berpendapat bahwa pemaknaan adalah salah satu kunci untuk mewujudkan resolusi. “Sebagai seorang peneliti, aku menemukan bahwa jawaban untuk pertanyaan [mengenai keberhasilan] apa saja biasanya berhubungan dengan salah satu aspek dari kebahagiaan yakni pemaknaan” tuturnya.
Parks percaya bahwa “Jika Anda menyeduh makna” pada resolusi tahun baru, Anda akan meningkatkan keberhasilan Anda secara dramatis”. Ia mendasari argumennya pada hasil penelitian Adam Grant yang menemukan bahwa orang-orang yang pekerjaanya dihargai bekerja 171% lebih keras dari mereka yang tidak. Singkatnya, “pemaknaan punya semacam “percikan khusus” dan dapat “meningkatkan motivasi” imbuhnya.
Upaya mewujudkan resolusi tahun baru memang tidak mudah. Tak jarang pula resolusi yang kita buat tidak realistis dan kita malah terkesan seperti pengidap sindrom harapan palsu. Tetapi, kita masih punya harapan untuk menyembuhkan sindrom ini karena mengubah kebiasaan, menerapkan teknik SMART dan memberikan pemaknaan terhadap resolusi tahun baru bisa membawa kita kembali ke jalur yang benar menuju ke sasaran-sasaran yang kita idam-idamkan di tahun ini, semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H