Penasaran mengapa semangat dan ikrar kita yang menggebu-gebu untuk menjadi pribadi lebih baik di Tahun Baru kini seolah-olah menguap padahal kita masih di pertengahan bulan Januari? Ternyata Professor Janet Polivy dari Universitas Toronto Canada punya jawaban dan nama keren untuk fenomena ini, False Hope Syndrom atau “Sindrom Harapan Palsu” (SHP). Menurut Polivy, fenomena ini terjadi karena kita memandang perubahan tabiat semudah membalikan telapak tangan sehingga kita tergoda untuk membuat resolusi tahun baru yang tidak realistis.
Setali tiga uang, hasil penelitian menunjukan bahwa dalam satu minggu saja, 25% dari pembuat resolusi sudah patah arang. Tapi ini belum kiamat. Kita masih dapat menyusunnya kembali karena meskipun harapan palsu biasanya hanya berumur seminggu, harapan realistis bisa bertahan lama.
Apa yang paling kita butuhkan untuk menjaga asa dari resolusi tahun baru kita adalah memberi makna, menerapkan strategi SMART (pintar) dan membangun kebiasaan baru.
Tentu saja, jalan menuju sasaran-sasaran itu berkelok dan terjal. Menurut Dr Daniel Galser, Direktur Scince Gallery di King’s Colleage London, “otak manusia sudah diprogram untuk menemukan/mencari hal-hal baru, menarik dan menantang” sehingga sulit untuk mewujudkan rencana jangka panjang dan itu-itu saja seperti pada resolusi tahun baru. Selain itu, hasil riset membuktikan bahwa hanya 8% dari pembuat resolusi tahun baru yang berhasil menjadikan mimpi mereka kenyataan.
Tetapi bagi psikolog seperti William James, keberhasilan itu berhubungan dengan kebiasaan karena “Semua kehidupan kita, apapun bentuknya, tak lain adalah kumpulan kebiasaan,” tulisnya. Pandangan ini didukung oleh hasil penelitian para peneliti dari Duke University yang menemukan bahwa lebih dari 40 persen tindakan kita setiap hari sebetulnya bukan berasal dari keputusan yang benar-benar kita pikir secara matang, tetapi berasal dari kebiasaan.
Lalu bagaimana cara kita mengubah kebiasaan?
Mungkin ekperimen yang dilakukan oleh Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) boleh menginspirasi kita. Dalam sebuah eksperimen yang dilakukan pada sejumlah astronot, NASA menemukan bahwa otak manusia membutuhkan kira-kira tiga puluh hari untuk membentuk kebiasaan baru.
Artinya, jika kita melakukan satu aktivitas baru (misalnya bangun jam 4 pagi, berolah raga, menulis dll.) secara rutin, secara sadar dan secara sengaja selama 30 hari berturut-turut, maka upaya ini akan makin mudah hari demi hari dan setelah 30 hari, kegiatan itu akan menjadi sebuah kebiasaan baru.
Tahun 1989 misalnya, saya pertama kali sungguh-sunguh berniat bangun subuh (jam 4 pagi) untuk belajar. Karena saya belum pernah melakukannya, maka pada minggu pertama, saya bukan belajar tapi tidur. Aktivitas ini pun terasa sangat menyiksa awalnya dan membuat saya hampir putus asa. Tetapi setelah melakukannya secara rutin selama dua minggu, kegiatan ini terasa makin mudah dan satu bulan kemudian hingga sekarang, belajar pada jam 4 pagi bukan lagi masalah karena telah menjadi sebuah kebiasaan.
Tak heran dalam bukunya Getting Things Done (menuntaskan pekerjaan), David Allen menulis “kebiasaan itu adalah vaksin atau obat penangkal untuk kita mengatasi berbagai krisis atau keadaan darurat yang bakal timbul akibat tuntutan pekerjaan sehari-hari”.
Selain itu, resolusi tahun baru kemungkinan besar bisa terwujud jika kita menerapkan teknik pintar atau SMART. Dengan teknik ini resolusi haruslah Specific (spesifik), Measurable (terukur), Attainable (dapat dicapai), Relevant (relefan) dan Time-bound (waktunya ditentukan), SMART!