Hari itu juga, aku mengambil ponselku dan memotret segala yang kulihat: rumah-rumah yang roboh, ladang-ladang yang hangus, dan wajah-wajah warga yang penuh keputusasaan. Aku mengunggah foto-foto itu ke media sosial dan mengirimnya ke grup sahabatku di Kota Karang.
"Devine, Maria, aku butuh bantuan kalian. Desa kami porak-poranda karena erupsi Gunung Lewotobi. Apa kalian bisa membantu?" tulisku.
Respon mereka datang lebih cepat dari yang kukira.
"Sesilia, kami akan membantu! Beri tahu kami apa yang paling dibutuhkan," jawab Devine.
"Kami bisa menggalang dana dan mengirimkan barang-barang ke sana," tambah Maria.
Hatiku sedikit lega. Aku tahu aku tidak sendiri.
Tujuh hari kemudian, bantuan mulai berdatangan. Beras, selimut, masker, obat-obatan, dan banyak barang lainnya terkumpul di posko yang kami dirikan di balai desa. Aku membentuk tim relawan bersama teman-temanku untuk mendistribusikan bantuan tersebut.
Saat aku menyerahkan masker kepada Bu Marta, dia memelukku erat. "Terima kasih, nak. Tuhan memberkatimu," katanya sambil menangis.
Pak Samuel menerima beras dan selimut dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak tahu bagaimana caranya membalas budi kalian," katanya.
Namun, saat mendengar mereka bercerita tentang kehilangan dan kesulitan, aku hanya bisa diam. Kata-kata rasanya tidak cukup untuk menghibur mereka. Air mata pun akhirnya jatuh tanpa bisa kutahan.
"Nek, semua akan baik-baik saja, ya," ucapku, mencoba menguatkan Nenek Melda.