Mohon tunggu...
Walkhot Silalahi
Walkhot Silalahi Mohon Tunggu... Guru - Mencerdaskan generasi penerus bangsa

Menuangkan ide dalam bentuk cerpen juga dalam artikel dalam hal pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hatiku Pilu

17 Desember 2024   18:17 Diperbarui: 17 Desember 2024   18:17 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Asap hitam masih membubung dari puncak Gunung Lewotobi. Dari kejauhan, pijar api dan percikan lava tampak seperti lilin yang terbakar di tengah kegelapan malam. Namun, itu bukan pemandangan indah---itu adalah simbol bencana.

Aku, Sesilia, baru saja tiba di kampung mengisi liburan akhir semester tahun ini dari Kota Karang. Aku turun dari bus manggis jaya dan langsung dikejutkan dengan pemandangan yang membuat hatiku mencelos. Atap rumah-rumah di desaku berlubang, kebun kopi yang dulu hijau kini hangus, dan aroma abu belerang bercampur tanah tercium di mana-mana.

"Sesilia, kau pulang, nak?" suara Nenek Melda menyapaku. Wajahnya penuh kerut, matanya tampak bengkak karena terlalu sering menangis.

"Iya, Nek. Apa kabar semua di sini?" tanyaku pelan, mencoba menahan air mata.

"Kabar? Tidak ada kabar baik, nak. Semua hilang. Kopi nenek, ladang kelapa, semua hangus karena di cium lava dan abu vulkanik. Sekarang kami hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Hatiku pilu, nak, melihat semua ini," jawab Nenek seraya menatap jauh ke arah puncak gunung yang masih memuntahkan asap.

                                                                                                            foto dokumen pribadi 

Aku tak mampu berkata-kata. Aku hanya bisa memeluk nenek, merasakan tubuhnya yang gemetar karena ketakutan dan kelelahan.

Hari berikutnya, aku berjalan menyusuri desa, melihat rumah-rumah yang hancur dan mendengarkan cerita-cerita memilukan dari warga.

"Saya baru saja memanen jambu mete, Sesilia," kata Pak Samuel dengan mata berkaca-kaca. "Mau saya jual untuk membayar sekolah anak-anak, tapi... sekarang semuanya hangus. Apa yang bisa saya lakukan?"

"Anak-anak saya sakit, Sesilia," ucap Bu Marta sambil menggoyang-goyangkan kipas tangan di atas bayinya yang terbatuk-batuk. "Abu vulkanik ini membuat kami tidak bisa bernapas lega. Kami tidak punya masker, tidak punya apa-apa."

Aku mendengarkan semuanya dengan hati yang terasa hancur. Aku tahu aku hanya seorang anak SMP, tapi naluri dalam diriku berteriak untuk melakukan sesuatu.

Hari itu juga, aku mengambil ponselku dan memotret segala yang kulihat: rumah-rumah yang roboh, ladang-ladang yang hangus, dan wajah-wajah warga yang penuh keputusasaan. Aku mengunggah foto-foto itu ke media sosial dan mengirimnya ke grup sahabatku di Kota Karang.

"Devine, Maria, aku butuh bantuan kalian. Desa kami porak-poranda karena erupsi Gunung Lewotobi. Apa kalian bisa membantu?" tulisku.

Respon mereka datang lebih cepat dari yang kukira.

"Sesilia, kami akan membantu! Beri tahu kami apa yang paling dibutuhkan," jawab Devine.

"Kami bisa menggalang dana dan mengirimkan barang-barang ke sana," tambah Maria.

Hatiku sedikit lega. Aku tahu aku tidak sendiri.

Tujuh hari kemudian, bantuan mulai berdatangan. Beras, selimut, masker, obat-obatan, dan banyak barang lainnya terkumpul di posko yang kami dirikan di balai desa. Aku membentuk tim relawan bersama teman-temanku untuk mendistribusikan bantuan tersebut.

Saat aku menyerahkan masker kepada Bu Marta, dia memelukku erat. "Terima kasih, nak. Tuhan memberkatimu," katanya sambil menangis.

Pak Samuel menerima beras dan selimut dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak tahu bagaimana caranya membalas budi kalian," katanya.

Namun, saat mendengar mereka bercerita tentang kehilangan dan kesulitan, aku hanya bisa diam. Kata-kata rasanya tidak cukup untuk menghibur mereka. Air mata pun akhirnya jatuh tanpa bisa kutahan.

"Nek, semua akan baik-baik saja, ya," ucapku, mencoba menguatkan Nenek Melda.

Nenek hanya mengangguk pelan. "Semoga, nak. Tapi, aku tahu, membangun kembali desa ini tidak akan mudah."

Aku memandang ke arah Gunung Lewotobi. Meski ia masih memuntahkan amarahnya, aku tahu bahwa kami harus tetap bertahan. Aku berjanji dalam hati untuk terus membantu desaku, sekuat yang aku bisa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Hantu Pocong Lembang, Hiburan Siang di Jalan Macet!

5 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun