Berijazah SMA, mendirikan koran kuning, masih muda, namun ia punya potensi yang membuatnya dilirik oleh Soeharto. Apa yang membuat Harmoko begitu istimewa bagi Soeharto?
Meskipun bukan sarjana, Harmoko pernah menduduki sejumlah jabatan penting, sebagai Ketua PWI, Ketua DPP Golkar, Menteri Penerangan dan Ketua DPR/MPR.
Khusus untuk jabatan menteri, prestasi Harmoko adalah ia menduduki jabatan Menteri Penerangan ini selama tiga kali berturut-turut dalam kabinet pemerintahan Soeharto.
Dengan sederet jabatan penting yang dipegangnya meskipun berbekal ijazah SMA, tentu Harmoko bukan orang sembarangan, setidaknya di mata Soeharto.
Harmoko juga dikenal sebagai salah satu orang kepercayaan Soeharto. Di dalam buku "Pak Harto The Untold Stories", Harmoko menceritakan kedekatannya dengan Pak Harto.
Di luar kegiatan formal, Pak Harto biasa mengajaknya bepergian, misalnya memancing ikan. Bahkan Harmoko menceritakan ia melihat sendiri bagaimana Ibu Tien mengulek sambal di cobek yang lebar, saat makan bersama.Â
Dari segi personaliti, Harmoko sendiri mempunyai pembawaan supel dan menyenangkan. Orang Jawa bilang ia "semanak", ramah dan mudah akrab pada orang lain, murah senyum.
Saat berbicara, ia pandai mengolah kata-kata. Sebagai wartawan, ia memang mudah bergaul dengan segala kalangan.
Harmoko bukan hanya wartawan. Ia juga adalah seniman. Pada awal karirnya tahun 1960, ia juga bekerja sebagai kartunis, di samping wartawan. Kartunis adalah seorang seniman yang dituntut untuk selalu berpikir kreatif dan kritis.
Harmoko kritis? Begitu kata Anda meragukan. Bagaimana mungkin Harmoko yang begitu rapat hubungannya dengan Soeharto bisa bersikap kritis terhadap pemerintah?
Bukankah jurnalisme itu harus netral? Untuk menjaga netralitasnya, bukankah jurnalisme itu tidak semestinya menjilat ke atas? Lalu di mana peran social control dari jurnalis, kalau ia menjadi lumpuh, tak kuasa untuk mengkritik pemerintah?
Nah, inilah paradoksal yang menarik. Ada beberapa catatan menarik tentang Harmoko yang membuat Soeharto mendapuknya dengan peran penting di panggung politik Indonesia, di antara jajaran teknokrat di rezim Orde Baru.