Kepulauan Nusantara dijuluki "insulinde" oleh Multatuli. Penyebutan nama insulinde tercantum dalam buku karya Multatuli, Max Havelaar. Selanjutnya, pada masa kolonial nama insulinde banyak digunakan dalam puisi-puisi sebagai sebutan puitis bagi Hindia Belanda.
Ada fenomena yang mulai terlihat di Nusantara pada awal abad ke-20. Fenomena itu adalah mulai muncul organisasi pergerakan kemerdekaan. Pada saat inilah penyebutan insulinde dianalogikan sebagai "Sang Putri Tidur" oleh seorang tokoh Politik Etis, Conrad Theodore van Deventer.
Sebagaimana banyak dikenal, kisah Putri Tidur adalah dongeng klasik yang menceritakan tentang seorang putri yang dikutuk oleh peri jahat sehingga tertidur selama ratusan tahun, dan akhirnya dibangunkan oleh seorang pangeran tampan. (Wikipedia)
Van Deventer mengumpamakan Hindia Belanda adalah putri yang sedang tidur panjang, sampai akhirnya terjaga dengan lahirnya Budi Utomo, organisasi pergerakan nasional di Hindia Belanda.
Kata Van Deventer, "Keajaiban telah terjadi. Insulinde Sang Putri Tidur telah terjaga dari tidurnya." Komentar Van Deventer ini sebagai reaksi ketika organisasi Budi Utomo didirikan.
Didirikannya Budi Utomo merupakan representasi dari bangkitnya tanah jajahan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat yang tertindas akibat sistem imperialisme kolonialisme.
Tanah jajahan bisa bangkit? Hal ini tak pernah terbayangkan sebelumnya. Bung Hatta pernah menulis bahwa dahulu hampir rata-rata orang berpendapat, bahwa bangsa-bangsa kulit berwarna sudah ditakdirkan Allah untuk menjadi hamba, tinggal selama-lamanya menjadi tanah jajahan.
Pernyataan Bung Hatta di atas, dikaitkan dengan fenomena timbulnya organisasi-organisasi pergerakan nasional dengan Budi Utomo sebagai pionir, saya tulis di dalam buku saya berjudul "Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan". Buku ini disertai dengan kata pengantar dari sejarawan (alm.) Peter Kasenda.
Resensi dari buku saya di atas pernah dimuat di Kompas cetak (2015), dengan judul "Membongkar Mitos Proklamator Paksaan". Resensi itu ditulis oleh Guru Besar Sejarah Prof. Dr. Gusti Asnan dari Universitas Andalas.
Bersama putri dari Bung Hatta, Halida Hatta, saya sempat menjadi pembicara saat diundang untuk mempresentasikan buku saya, "Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan" (2015), dalam acara memperingati hari ulang tahun ke-113 Bung Hatta di Perpustakaan Bung Hatta di Bukittinggi.
Pentingnya Mempelajari Sejarah Organisasi Pergerakan Nasional
Meskipun berkisah tentang proklamator, saya merasa perlu juga menguraikan lahirnya berbagai organisasi pergerakan nasional di buku saya, "Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan".
Saya melihat pentingnya memahami sejarah lahirnya organisasi pergerakan nasional, agar dapat memahami proklamasi kemerdekaan secara utuh, oleh karena point-point berikut ini:
1. Mengenal Akar Historis Indonesia
Sukarno mengeluarkan keputusan pada 20 Mei 1948 untuk menetapkan hari lahirnya Budi Utomo sebagai hari kebangkitan nasional.
Hari kebangkitan Nasional merupakan akar dari lahirnya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tanpa mengenal akar historis Indonesia, orang bisa menjadi ahistoris. Sikap ahistoris antara lain tidak punya kepedulian terhadap sejarah, perkembangan sejarah atau tradisi. (Wikipedia).
Bahaya dari sikap ahistoris adalah orang bisa dengan mudah terus mengulang kesalahan yang sama, yang terjadi di masa lalu.
Karena ketidaktahuan tentang masa lalu, orang sulit memahami peristiwa masa kini secara komprehensif. Padahal situasi politik, ekonomi, sosial, budaya yang terjadi pada masa kini, akarnya sudah ada pada sejarah masa lalu. Kegagalan memahami masa lalu dan masa kini, membawa akibat pada kegagalan membangun perencanaan yang tepat untuk masa depan.
2. Proklamasi Kemerdekaan adalah Kelanjutan dari Lahirnya Organisasi Pergerakan Nasional
Rasanya semua orang paham bahwa kemerdekaan Indonesia tidak ujug-ujug terjadi begitu saja. Tapi tidak semua orang merasa perlu untuk melihat peristiwa awal yang mendahului kemerdekaan itu. Padahal terwujudnya kemerdekaan Indonesia merupakan kelanjutan dari rangkaian peristiwa sebelumnya, di antaranya lahirnya organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan.Â
Ada peristiwa historis jauh sebelumnya yang membuat perjuangan itu menjadi terstruktur, teratur dan secara sistemastis berjalan menuju ke satu tujuan, yaitu kemerdekaan. Ini berkat pengorganisasian yang lebih baik, tidak lagi berdiri sendiri-sendiri secara eksklusif dengan identitas lokal, melainkan dengan identitas nasional.
Setelah lahirnya organisasi Budi Utomo (1908) yang didirikan Dr. Sutomo atas gagasan Dr. Wahidin Sudirohusodo, kemudian muncul tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya. Di antaranya Douwes Dekker dari Indische Partij, HOS Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan beberapa nama lain. Di awal kemunculan tokoh-tokoh senior ini, saat itu Sukarno dan Hatta masih kanak-kanak.
Barulah pada awal tahun 1920-an, Sukarno dan Hatta mulai tampil di panggung politik sebagai pemuda dengan pikiran dan konsep yang matang. Sukarno adalah salah satu pendiri PNI.
Dan Hatta juga pada tahun 1920-an juga mulai memimpin Perhimpunan Indonesia saat studi di Belanda. Setelah kembali ke Indonesia pada awal 1930-an, Hatta memimpin Pendidikan Nasional Indonesia, yang kemudian disebut PNI Baru.
Tak dapat disangkal, perjuangan Sukarno dan Hatta tak dapat dilepaskan dari tokoh pendahulu, termasuk para tokoh pendiri Budi Utomo, tokoh Indische Partij, para tokoh senior di Sarekat Islam, dan para tokoh dari organisasi lainnya.Â
Ketika proklamasi dikumandangkan oleh Sukarno dan Hatta, di dalam kumandang proklamasi itu juga ada roh, jiwa dan cita-cita tokoh-tokoh pendahulu dari berbagai organisasi pergerakan nasional. Para tokoh pendahulu ini baik secara langsung maupun tak langsung telah menjadi inspirator bagi tokoh-tokoh muda seperti Sukarno dan Hatta.
Umumnya para tokoh pergerakan nasional, baik tokoh yang tua maupun yang lebih muda mempunyai jaringan yang membuat mereka saling mengenal dan saling terhubung satu sama lain meskipun berbeda organisasi.
Meskipun Sukarno muda berada di Jawa dan Hatta muda di Belanda, tapi keduanya saling mengenal dan menjalin kontak rahasia (untuk menghindari mata-mata Belanda), meskipun belum pernah bertemu satu sama lain.
3. Organisasi Pergerakan Nasional Melahirkan Komitmen Persatuan Indonesia
Pada mulanya kelahiran organisasi pergerakan Budi Utomo dimotori oleh kaum priyayi Jawa. Pada awalnya daerah-daerah di Hindia Belanda masih berdiri dengan identitas lokal masing-masing. Namun dengan cepat timbul kesadaran bahwa identitas lokal meskipun tidak perlu sama sekali dihilangkan, namun semuanya mesti dipersatukan ke dalam identitas nasional. Hanya melalui persatuan, perjuangan dapat terkonsolidasikan.
Organisasi pergerakan nasional yang dipimpin oleh Sukarno dan organisasi yang dipimpin Hatta, baru lahir pada awal tahun 1920-an. Ada kesepakatan antara para pemimpin organisasi ketika itu untuk menggalang persatuan demi memperkuat perjuangan.
Sebelum mendirikan PNI, Sukarno bersama kawan-kawannya mendirikan Algemeen Studieclub. Saat itu Sukarno juga mendirikan PPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). PPKI merupakan gabungan dari ormas dan partai politik seperti PNI, PSII, Budi Utomo, Pasundan, Sumatranen Bond, Kaum Betawi, dan Algemeen Studieclub.
PPKI juga menetapkan organisasi Perhimpunan Indonesia yang dipimpin oleh Mohammad Hatta di Belanda, sebagai wakil resmi PPKI di Eropa. PPKI Â menekankan pentingnya persatuan di antara seluruh rakyat.
Persatuan itu terbentuk terutama karena adanya persamaan cita-cita di antara seluruh rakyat. Yaitu ingin lepas dari kesengsaraan, mencita-citakan kesejahteraan rakyat dengan jalan meraih kemerdekaan. Kemerdekaan adalah jembatan emas menuju cita-cita. Hanya rakyat merdeka yang bisa menentukan dan meraih cita-citanya sendiri.
Persamaan cita-cita di antara berbagai organisasi pergerakan dari berbagai daerah, akhirnya membawa semangat persatuan. Dan semangat persatuan ini kemudian menjadi andil bagi lahirnya Sumpah Pemuda: satu Tanah Air, satu bangsa, satu bahasa.
Sukarno juga turut menghadiri Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda pada 1928. Ketika itu Hatta masih di Belanda.
Dengan mempelajari sejarah organisasi pergerakan nasional, diharapkan suatu generasi tidak mudah mengkhianati komitmen persatuan Indonesia.
4. Mempelajari Bagaimana Tokoh Pergerakan Nasional Mengatasi KonflikÂ
Pelajaran sejarah bukan sesuatu yang kaku dan statis. Di dalamnya ada kisah tentang anak manusia yang bisa mengalami kebahagiaan, kesedihan, ada aksi kepahlawanan, juga ada ketidakberdayaan. Mereka semua adalah manusia yang tidak terlepas dari konflik kehidupan.
Dan inilah yang menarik saat mempelajari sejarah organisasi pergerakan nasional. Konflik antar tokoh pergerakan juga saya bahas di dalam buku saya "Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan", juga bagaimana mereka berdamai setelah mengatasi konflik.
Antara Sukarno dan Hatta pun tak terlepas dari konflik pada masa-masa keduanya aktif dalam organisasi pergerakan nasional. Di antaranya masa-masa sulit ketika Sukarno dan Hatta terseret dalam polemik yang sengit antara tahun 1932-1933.
Konflik di atas antara lain karena adanya perbedaan pendapat antar kelompok, seperti antara kelompok kooperatif dan kelompok non-kooperatif. Ada juga perbedaan ideologi di antara tokoh pergerakan, misalnya antara yang komunis dan non-komunis. (Pada masa kolonial, komunis juga adalah musuh pemerintah kolonial, karena merintangi kebijakan kapitalisme kolonialisme).
Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan mempunyai masalah yang sama, yang tetap relevan hingga kini. Yaitu kehidupan berbangsa dengan latar belakang aneka perbedaan yang memang sudah menjadi wajah khas Indonesia.
Letak geografisnya sendiri membuat Indonesia secara historis dan kultural memang telah hidup dalam aneka perbedaan selama berabad-abad. Ini adalah kenyataan yang tak dapat ditolak.
Multi kultur, multi suku, multi ras, multi agama, bisa membawa berkah, tapi juga bisa rawan konflik kalau tak mampu mengatasinya.
Pada dasarnya konflik akan selalu ada di negara manapun juga. Tapi dalam negara yang menghadapi beraneka ragamnya perbedaan yang begitu kompleks seperti Indonesia, maka penguasaan manajemen konflik menjadi kebutuhan krusial.Â
Mengantisipasi potensi konflik adalah tantangan historis bagi bangsa Indonesia. Ini adalah isu yang tetap aktual dari dulu hingga kini, yang akar historisnya sudah ada pada masa lahirnya organisasi pergerakan nasional.
Melihat bagaimana para tokoh organisasi pergerakan nasional mengatasi konflik yang terjadi, bisa menjadi pelajaran dan renungan berharga.
Di sinilah terlihat bahwa sejarah bukanlah benda mati yang hanya dijadikan objek hafalan semata. Pelajaran sejarah juga adalah pelajaran tentang kehidupan. ***
(Penulis: Walentina Waluyanti)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H