Dalam episode perjalanan Ramadan, setiap muslim diwajibkan menjaga dirinya dari hawa nafsu yang menggelora di hati. Hawa nafsu ibarat harimau kelaparan yang tiba-tiba melihat mangsanya.
Dengan segala upaya, harimau mengejar mangsanya tersebut sampai sirna rasa lapar itu. Begitulah kondisi hawa nafsu manusia. Manusia tidak akan pernah puas sampai menurut hawa nafsunya. Timbullah orang korupsi, suap menyuap, pembunuhan demi kekuasaan, dll.
Datangnya Ramadan bisa dikatakan sebagai media control manusia terhadap hawa nafsunya. Ramadan adalah bulan pendidikan bagi jiwa yang lapar akan keinginan. Keinginan makan minum harus ditahan sampai kumandang azan magrib, keinginan hubungan seks suami istri ditunda sampai matahari terbenam.
Selain sebagai bulan pendidikan, Ramadan juga adalah bulan peperangan. Bukan peperangan dengan nonmuslim tetapi berperang dengan dirinya sendiri. Lazimnya sebuah peperangan, ada pihak yang menang dan ada yang kalah.
Muslim yang bisa menahan hawa nafsunya disebut pemenang. Kemenangan itulah yang diidentikkan dengan Idul Fitri. Idul Fitri diasosiasikan sebagai hari kemenangan. Idul Fitri dianggap sebagai puncak kemenangan setelah satu bulan menjalankan puasa.
Namun jika kita mau berefleksi, Idul Fitri bukanlah puncak dari kemenangan. Idul Fitri merupakan titik awal manusia untuk merebut kemenangan-kemenangan di bulan lainnya. Inilah tantangan sebenarnya.
Â
Sayangnya banyak umat Islam menganggap Idul Fitri adalah puncak kemenangan. Layaknya sebuah kemenangan, Idul Fitri patut dirayakan meriah. Ekpresi kemeriahan terlihat di pusat-pusat perbelanjaan menjelang Idul Fitri.
Â
Ribuan umat Islam memadati pusat-pusat perbelanjaan. Sasarannya pakaian baru. Tak pelak, Idul Fitri identik dengan pakaian baru. Pakaian baru  menjadi hal wajib dalam perayaan Idul Fitri. Tak heran, bila ada ibu-ibu menggadaikan barang, utang sana sini hanya untuk memenuhi keinginan berpakaian baru.
Â