Mohon tunggu...
Wakidi Singadimedja
Wakidi Singadimedja Mohon Tunggu... -

humoris, romantic, pendiam, petualang, pedagang yang nyambi jadi dosen, pedagang yang nyambi jadi programmer, pedagang yang nyambi jadi tukang bikin website, pedagang yang nyambi jadi gitaris, pedagang yang nyambi jadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sorban, Jubah dan Sarung Pak Kyai

18 Juli 2010   13:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:46 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sorban, Jubah dan Sarung Pak Kyai

Di keremangan surau, di keremangan nyala api sentir yang diletakkan di dekat mihrab, aku berjalan mengendap perlahan-lahan, takut kalau-kalau aku mengganggu kekhusyu’an Pak Kyai. Aku meninggalkan surau, menuju kamarku. Tidur.
Sesekali angin dingin malam menggoyangkan ujung nyala api sentir di kamarku melalui sela-sela kisi-kisi terali bambu jendela di sebelah timur klasa tempat aku memerdekakan tubuhku dari penjajahan rasa penat yang menyerangku seharian ini. Malam sudah terlalu larut. Sang api sentir sudah tampak lelah menemaniku. Padam. Gelap. Aku lelap.

*   *    *
“Pak Kyai hilang !”
“Pak Kyai hilang !”
“Pak Kyai hilang !”

Serentak kabar itu meluas di seantero Pesantren. Entah bagaimana kejadiannya, tak ada yang mengetahuinya, kecuali ustadz Yasin, yang sedari kemarin bersamaku melewati separoh malam berzikir di keremangan Surau bersama Pak Kyai.

“Mula-mula sebagian kaki Pak Kyai hilang, lalu merambat ke seluruh tubuh Pak Kyai…”, ustadz Yasin bercerita asal – usul kejadiannya. “Yang tertinggal hanya sorban, jubah dan sarung beliau !”, lanjut ustadz Yasin. Santri-santri lain yang ikut mendengarkan menjadi ikut ternganga. Aneh. Pikir mereka. Khariqatul ‘addah!

“Tapi kenapa Ustadz Yasin tidak segera memberitahukan kejadian itu tadi malam …?”, tanya Maulana.
“Aku sudah berusaha berteriak sekuat tenaga, tapi aku tak bisa, seperti ada yang menahanku” Jawab ustadz Yasin.
“Semuanya berlangsung cepat sekali, aku terpukau melihat khariqatul ‘addah ini tepat di depan mataku sendiri…”, lanjutnya.
*    *     *

Ternyata kejadian serupa dialami oleh seluruh pesantren di negeri ini. Para Kyai mereka menghilang! yang tertinggal hanya sorban, jubah dan sarung Kyai. Tanpa pesan sama sekali. Ada apa ini, apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Serentak pula kejadian ini menjadi topik dan headline koran-koran, majalah-majalah, radio, dan tivi. Para politikus berkomentar dan menyangkutpautkan kejadian ini dengan kondisi politik negeri ini. Kaum agamawan menganggap hal ini Khariqatul ‘addah, sebuah kebesaran dan kekuasaan Allah. Kaum awam menganggap hal ini klenik, bahwa para Kyai diculik dengan menggunakan ilmu hitam tingkat tinggi. Orang yang tidak mau ambil pusing berpendapat lebih sederhana, para Kyai itu lagi ndhelik. Kaum filsuf berpendapat, para Kyai itu sedang menguji umatnya dari jarak jauh, apakah ajaran-ajarannya masih mereka laksanakan setelah ditinggalkan sang Kyai. Kaum hedonis berpendapat, bahwa para Kyai itu sedang tamasya bareng-bareng.
*     *     *

Kantor-kantor polisi menjadi lebih sibuk daripada biasanya. Mereka segera membentuk tim yang diberi nama “Tim Pencari Kyai”. Para pembela hak asasi manusia juga tak mau ketinggalan, mereka segera membuat “Tim Pembela Kyai”. Para santri di seantero negeri ini tumplek blek di Senayan mengadakan istighotsah bareng-bareng. Mereka saling bekerja sama, saling membantu, saling bertukar informasi.
Pihak internasional yang mendengar kasus aneh ini, demi menjaga gengsi,  akhirnya juga ikut sibuk membantu menangani kasus ini. Interpol, FBI, CIA menyebarkan intel-intelnya di seluruh penjuru dunia. Mereka menyewa pemburu bayaran untuk mencari para Kyai.
Kasus ini sudah mengglobal. Tak hanya di negeri ini saja, namun di seantero dunia!
Negeri ini menjadi pusat perhatian seluruh dunia. Negeri yang aneh, mungkin pikir mereka…
*     *      *

40 hari berlalu. Para Kyai belum ditemukan.

Langit menjadi semakin merah. Pecah-pecah. Langit berduka cita. Langit enggan menurunkan setitik air hujan pun. Langit enggan memancarkan sinar rembulan yang keemasan lagi, rembulan berduka sebab para Kyai itu sudah tidak lagi mengaji bersama santri-santrinya di bawah sinarnya yang terang. Langit enggan memercikkan api bintang-bintangnya. Bintang – bintang meledak. Matahari meledak. Padam.
Bumi menjadi dingin. Salju dan es berada di mana-mana, tidak hanya di kutub utara dan kutub selatan.

Negara-negara tropis mulai diselimuti salju. Gurun–gurun pasir jazirah Arab mulai dituruni salju. Beberapa bagian Sahara diselimuti salju. Mula-mula setebal 1 senti, 3 senti, 4 senti, dan seterusnya seiring berlalunya waktu semakin tinggi pula  timbunan salju.

Negara-negara di Jazirah Arab mulai sibuk melayani pesanan minyak dari seluruh dunia. Minyak menjadi barang kebutuhan pokok saat ini. Sebab di negeriku cadangan minyak sudah habis. Pada mulanya negeriku membeli dari negeri tetangga, tetapi katanya stok mereka juga sudah habis. Akhirnya negeriku dan negeri-negeri lainnya langsung membeli minyak ke negeri Arab.
Minyak ratusan billion barrel itu untuk menyalakan api, menggantikan percik api matahari dan bintang-bintang yang sudah padam beberapa hari yang lalu.
Cadangan bahan bakar di perut Bumi habis.
*       *      *

Pesantrenku diselimuti salju. Minyak Sentir di kamarku asli Arab Saudi. Tapi nyala apinya masih sama dengan yang lokal.

60 hari tanpa Pak Kyai.

Aku dan santri yang lain berada di surau. Di mihrab masih terdapat sorban, jubah dan sarung Pak Kyai. Kami tak berani memegang dan memindahkannya. Di dekatnya ada sebuah kitab pêgon dalam posisi terbuka dan siap dibaca. Angin bertiup cukup keras, sang angin membolak-balik kitab itu, membacanya dengan khusyu’. Aku mendengar sang angin menderu membaca kitab itu. Seolah-olah kami mendengar suara Pak Kyai membacakan kitab itu untuk kami yang biasanya kemudian kami amalkan.

Kami terhanyut dalam suasana kerinduan dengan Pak Kyai. Pak Kyai menjadi angin! Angin mampu kemana-mana dan ada di mana-mana. Lepas dan bebas. Angin mampu menyejukkan hawa yang mendidih. Angin tak dapat dikerangkeng. Angin tak dapat dijaring. Angin tidak dapat dijebak. Angin tidak dapat diracun. Angin tidak dapat dibakar. Angin tidak dapat beku. Angin adalah kemerdekaan.

Aku menatap sorban, jubah dan sarung Pak Kyai.

Nyala api sentir sudah tak terang lagi. Melik-melik redup.
Aku menemukan sosok Pak Kyai pada angin yang berhembus. Sang angin keluar masuk dengan deras melalui ventilasi-ventilasi dan jendela-jendela serta pintu surau yang tidak pernah kami tutup.
Mungkin para Kyai itu melebur menjadi angin yang selalu keluar masuk ke surau kami.
*      *      *

70 hari kegagalan Tim Pencari Kyai, Tim Pembela Kyai, Interpol, FBI, CIA di dalam menemukan kembali sang Kyai yang hilang.
Dunia dan alam semesta gelap.
Para tim itu sudah kelelahan, mereka ingin mengakui kegagalan mereka namun mereka gengsi. Akhirnya tim-tim tersebut hanya tinggal nama saja tanpa aktivitas. Yang jika ditanya, mereka cukup menjawab, “Kasus ini masih dalam proses…”
*     *     *

120 hari umat manusia hidup tanpa Kyai.

Koran-koran, majalah-majalah, radio, tivi dan media informasi lainnya sudah tidak terbit lagi. Mereka defisit. Tidak ada lagi yang membaca, mendengar, dan melihat berita mereka lagi. Mereka sudah kehabisan berita. Berita mereka paling-paling seputar kasus hilangnya para Kyai saja, tak ada yang lain.
Headline koran terakhir yang sempat aku baca sebelum ia bangkrut berbunyi : “Jutaan Kyai raib, siapa dalangnya ?”

Tak perlu aku kutipkan isi beritanya, karena dari dulu isinya monoton itu – itu saja.
Para bankir juga defisit. Betapa tidak? Seluruh nasabahnya mengambil tabungan dan depositonya sementara hutang usahanya menggunung.

Semua sektor industri mulai kocar-kacir, tak ada persediaan bahan baku lagi. Para produsen kehilangan minat beli konsumen. Para konsumen tidak berminat lagi pada produk duniawi, mereka mulai tertarik pada produk ukhrawi. Sebab mereka merasa kiamat akan datang…
*      *       *

Kehidupan 150 hari tanpa Pak Kyai sudah kami jalani.

Surau di pesantrenku mulai banyak dikunjungi para kaum Kapitalis, Sosialis, Hedonis, hingga kaum Atheis dari kalangan manusia dan jin. Mereka mulai khawatir akan nasib hidupnya. Mereka mulai sadar bahwa mereka sudah lama melupakan ukhrawi, mereka mengejar kesenangan duniawi, sedangkan mereka tak punya bekal apa-apa. Kosong melompong.

Api sentir semakin melik – melik tertiup angin. Nyala api semakin kecil, dan rupanya sentir itu adalah satu-satunya sentir yang masih menyala di antara sekian sentir di jagad  ini. Sudah tidak ada nyala api lagi selain nyala api sentir di surau kami.

Angin bak penjelmaan Pak Kyai bertiup keras meniup api sentir. Sang api sentir padam. Dunia  gelap gulita. Alam semesta tanpa cahaya. Kiamatkah ?

Terdengar keras gemuruh raungan suara para tamu. Histeris. Panik.
“Asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadar rasulullaah…”

Terlambatkah?

Semua menjeritkan syahadat, menggoyangkan kaki-kaki ‘Arsy. Disusul bahana shalawat mengguncang tiang-tiang jagad. Meneteskan air mata berkas resapan shalawat yang merasuk ke ubun-ubun sanubari. Tubuh mereka leleh menjadi air mata. Air mata menjadi mata air. Al-kautsar.
Air itu semakin lama semakin membanjiri dunia. Alam semesta tenggelam karam di lautan karunia-Nya.
Sorban, jubah dan sarung Pak Kyai terapung-apung.
Israfil meniup sangkakala. Sorban, jubah dan sarung Pak Kyai lenyap.
*      *      *
Pabelan, Kartasura, 12 September 2001
Chairullah Naury
(Teriring salam dan ta’zhim kepada
Tuan Guru Zaini Abdul Ghani, Martapura, Kal-Sel
Dan
Tuan Guru Alhabib Anis Alhabsyi,
Solo)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun