Pada cangkir yang menengadah merangkai pinta di sebelah lelapnya kartika,Â
Tertuang kata demi kata yang tak pernah bisa diucapkan kopi pada pahitnya.
Mengecap seteguk asa dari bibir yang tak pernah mau terasingkan barang sekerdipnya surya.
Setia pada penyair-penyair yang tak mau melewatkan sepengal langkah pendulum mengayunkan masa,
Menampung pekatnya kepulan-kepulan kabut hangat ingatan tentang seruas tulang rusuk yang hilang.
Kadang mematung tak berguna saat sang tuan lupa pada buliran rindu yang menyisa disudut mata.
Pada cangkir, yang menghadirkan renungan kopi dan pahitnya rindu.Â
Menjamu bayangmu yang hanya bertamu di ruang sunyi imajinasi.
Enggan melepaskan gambaran tentangmu saat kelopak senja menyelimuti binaran,
Lalu bagaimana bisa kopi memaksa kuas hasrat menari hingga tercipta sebentuk ingin yang tak mungkin,
Pada cangkir, akan selalu ku ramu rinduku pada pahitnya kopi-kopi teman berkhayalku,
Biar sunyi tak lagi mau menghampiri,Â
Biar selalu ada bagian dari pahitnya rindu yang ku biarkan menguap,
mengangkasa, bersama mengeringnya embun di pagi hari.
Biar tersampaikan pada hati yang ku tuju.
Pada cangkir, kopi, dan rindu
Yogyakarta, 30 April 2020
Berkarya bersama bayangmu dalam ruang imajinasiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H