Cerita miris mewarnai pesta demokrasi yang bernama Pemilu Serentak. Di sebuah rukun kampung sehari sebelumnya tepatnya tanggal 17 April 2019 diramaikan oleh antrian dan kerumunan warga di bawah sebuah tenda.Â
Mereka adalah warga pemilih yang hendak mencoblos di TPS. Â Keesokan harinya warga kembali terlihat berkumpul di sebuah tenda tidak jauh dari tenda TPS kemarin. Kali ini bukan untuk mencoblos lagi melainkan warga sedang melayat salah satu petugas KPPS yang diduga meninggal akibat kelelahan paska pemungutan dan penghitungan suara. Cerita rekaan penulis ini menjadi penanda tragedi kemanusiaan dibalik pesta demokrasi Pemilu Serentak 2019.
Seperti jamaknya sebuah pesta, setelah pesta usai penyelenggara akan beres-beres, merampungkan dan merapikan segala yang terkait dengan pesta. Tapi bagaimana dengan pesta demokrasi Pemilu 2019?Â
Kendatipun tahapannya belum rampung Pemilu 2019 masih menyisahkan berbagai diantaranya antara lain pertaruhan independensi dan kredibitas penyelenggara (KPU dan BAWASLU).
Selain itu yang paling menyedihkan seperti cerita di atas. Sejumlah Kelompok Penyelenggaran Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia saat bertugas melaksanakan pemungutan dan perhitungan suara. Menurut data dan informasi KPU terdapat 667 petugas mengalami musibah sebanyak 199 orang meninggal dunia (Republika.co.id, 23 April 2019). Selayaknyalah peristiwa ini dicatat dalam sejarah pelaksanaan pemilihan umum di tanah air sebagai tragedi demokrasi.
Siapa dan apa saja tugas KPPS? KPPS  merupakan petugas garda terdepan dalam pemilu, mereka adalah orang-orang yang telah memiliki  kapasitas pengetahuan serta pengalaman teknis kepemiluan dan berdomisili di lokasi TPS setempat.Â
apabilitas mereka pun tidak tidak diragukan karena beberapa diantara mereka adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat serta tokoh perempuan atau tokoh pemuda di wilayahnya. Tetapi tugasnya tidak tanggung-tanggung mulai dari mengumumkan daftar pemilih tetap, melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara di TPS hingga tugas lain yang diberikan oleh KPU, KPU Provinsi, KPU Kab./Kota, PPK, dan PPS. (Pasal 60 UU No.7 tahun 2017).
Pesta pemilu kali  ini  berbeda dengan pesta pemilu-pemilu sebelumnya, pelaksanaanya dilakukan secara serentak. Dikatakan serentak karena Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) digabung pelaksanaanya sebagaimana diamanatkan UUD 1945 dan Putusan MK Nomor: 14/PUU-XI/2013.Â
Harapannya lewat pemilu serentak dengan menggabungkan pelaksanaan pemilu legislatif dan eksekutif dalam satu hari yang sama maka bangunan sistem presidensial akan lebih kuat lewat mekanisme checks and balances antara DPR dan presiden. Pemilu 2019 kali ini juga menjadi pertanda dimulainya Pemilu yakni Pileg dan Pilpres dalam satu rezim pemilu.
Namun dalam pelaksanaanya sistem pemilu serentak ternyata dianggap sebagai pemilu paling rumit dan paling berat penyelenggaraannya. Kerumitan dirasakan masyarakat/pemilih, sebelum mencoblos kita disuguhi oleh 5 lembar kertas suara dan harus memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/Kota, anggota DPR, serta anggota DPD. Tidak semua pemilih bisa adaptif dengan penggabungan kertas suara tersebut terutama bagi pemilih lansia, atau pemilih yang berpendidikan rendah.
Sementara bagi penyelenggara bebannya kerjanya berlipat-lipat dibanding pemilu-pemilu sebelumnya, dituntut adanya kapasitas penyelenggara dan waktu yang lebih. Kerumitan dan beban itu jelas terlihat pada proses penghitungan suara, Â penulisan hasil pada papan pleno di TPS yang banyak memakan waktu. Tidak heran jika di beberapa TPS bahkan berlangsung hingga keesokan harinya yakni tanggal 18 April.Â
Belum termasuk hitungan waktu proses rekapitulasi suara dari TPS di kecamatan. Kerumitan dari proses-proses ini pula yang kemudian menjadi rentan terjadinya kesalahan teknis penyelenggaran dan rawan kecurangan sebagaimana diduga oleh berbagai pihak seperti sekarang ini.
Beberapa diantara petugas KPPS yang menjadi korban karena tenaganya terkuras selama berlangsung penghitungan suara. Mereka melakukan penghitungan suara hingga dini hari dan dilanjutkan esok siang tanpa istirahat yang cukup karena berburu waktu dan tanggungjawab. Intinya karena beban kerumitan dan waktu yang membatasi mereka sehingga memilih tanggung jawab dibading resiko jiwa kematian dan atau kesehatan.
Kandatipun banyak kalangan telah meminta pemilu serentak ke depannya akan ditinjau ulang, Â Pemilu 2019 ibaratnya pesta demokrasi yang menyisahkan tragedi. Selayaknyalah jika petugas KPPS yang telah menjadi korban tragedi demokrasi dianugrahi sebagai pahlawan demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H