Mohon tunggu...
Wahyu Widayat
Wahyu Widayat Mohon Tunggu... Human Resources - Seorang eseis sastra, politik dan budaya. Penulis tinggal di Gunungkidul.

Hobi fotografi dan fasilitator pelatihan pengembangan sumber daya manusia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Teks ke Konteks: Praksis Kaum Muda di Bidang Pertanian

28 September 2020   18:11 Diperbarui: 28 September 2020   18:18 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Prawacana
Pertanian ibarat kuil kuno yang eksotik. Saya menyebut "kuil kuno yang eksotik" karena beberapa alasan tertentu. Pertama, pertanian adalah "dunia" yang penuh keindahan filosofi dan daya tarik spiritual.

Kedua, pertanian merupakan salah satu peradaban tertua dalam sejarah manusia. Ketiga, membicarakan pertanian sama halnya membicarakan hasil karya kebudayaan.

Keempat, celakanya ia seringkali dijadikan obyek bagi para penguasa dan kaum industrialis. Dan kelima, kita mengagumi "kuil kuno yang eksotik" namun enggan untuk merawat dan memeliharanya. Adakah diantara kaum muda tertarik, berminat dan terpanggil menjadi "penjaga kuil kuno yang eksotik" ini?

Potret Buram Moralitas Kaum Tani
Potret masa lalu kaum tani Indonesia memiliki wajah yang murung dan buram. Sejarah mencatat bahwa kaum tani adalah kaum pemberontak. Semoga kita tidak amnesia dengan Pemberontakan Petani Ciomas (1886), Gerakan Petani Banten (1888), Peristiwa Gedangan (1904) Gerakan Petani Samin (1917), Pemberontakan Petani Cimareme, Garut (1919), dan Pemberontakan Pak Jebrak di Brangkal (1919). 

Peristiwa-peristiwa tersebut hanyalah sedikit gambaran yang mempertegas bahwa kaum tani adalah kelompok radikalis. Kata "radikal" berasal dari bahasa Latin, yaitu "radix" yang artinya akar. Kaum tani menjadi radikal karena dorongan "sadhumuk bathuk sanyari bumi". Memperjuangan hak atas tanah adalah soal harga diri, martabat dan "mikul dhuwur mendhem jero", menghargai para leluhur. Inilah ajaran moral dan filosofi kaum petani Jawa yang dijunjung tinggi.

Dalam pengertian umum, moral diartikan sebagai pengetahuan (ajaran) yangmenyangkut budi pekerti. Moral juga berarti keterampilan dan kemampuan untuk membedakan hal yang baik dan buruk. Moral menyangkut soal akhlak manusia. Menurut asal katanya "moral" dari kata mores dari bahasa Latin, yang kemudian diterjemahkan menjadi "aturan kesusilaan".

Merujuk pada James Scoot (1976) dalam karyanya yang berjudul "The Moral Economy of the Peasant : Rebellion and Subsistence in Southeast Asia", mendefinisikan moral ekonomi sebagai pengertian petani tentang keadilan ekonomi dan definisi kerja mereka tentang eksploitasi-pandangan mereka tentang pungutan-pungutan terhadap hasil produksi mereka yang dapat ditolerir dan yang tidak dapat ditolerir. 

Dengan demikian peristiwa pemberontakan di atas tidak hanya dimaknai sebagai gerakan moral, namun juga sebagai tindakan hegemonik dalam artian digerakkan oleh motif ekonomi dan ketidakadilan sosial yang dialami oleh para petani Jawa.

Studi James Scoot diatas diilhami oleh desertasi doktoral Sartono Kartodirdjo (1960) yang sebelumnya melahirkan  desertasi doktoralnya di Amsterdam. Desertasi itu kini menjadi karya monumental sekaligus referensi wajib bagi peneliti dan peminat kajian gerakan sosial petani. 

Desertasi berjudul "The Peasant Revolt of Banten in 1888", yang kemudian alihbahasakan dan dibukukan menjadi "Pemberontakan Petani Banten 1888: Sebuah studi kasus mengenai gerakan sosial di Indonesia". Desertasi ini juga menginsipirasi untuk penelitian sosial dan politik petani Jawa bagi generasi berikutnya.

Sebut saja penelitian Hotman Siahaan (1996), dengan desertasi doktoralnya yang berjudul "Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi".  Atau Endang Suhendar dan Yohanda Budi(1998) , meneliti "Kondisi dan Kebijakan Agraria, Pola dan Level Konflik Petani, Aktor-aktor yang Terlibat dan Upaya Penyelesaian Konflik Petani". 

Di era 2000an, lahirlah studi "Teologi Petani : Analisis Peran Islam dalam Radikalisme Gerakan Petani pada Forum Perjuangan Petani Nelayan Batang Pekalongan (FP2NB) di Kabupaten Batang dan Pekalongan".  

Dan terakhir, penelitian yang dilakukan Hilma Safitri pada tahun 2010, yang juga melakukan studi terhadap gerakan petani di Batang dengan judul "Gerakan Politik Forum Paguyuban Petani Kabupaten Batang (FPPB)". Secara umum hasil penelitian di atas memiliki benang merah bahwa latar belakang petani melakukan gerakan perlawanan lebih di dasari atas aspek ekonomi, sejarah kepemilikan tanah dan budaya.

Sampai disini adakah diantara kita (kaum muda) menyadari bahwa menjadi seorang petani mengandung pesan moral yang sangat kuat dan sebagai bentuk perlawanan yang hegemonik terhadap penguasa dan kaum industrialis? Tunggu dulu dan bersabarlah dengan pembahasan dibawah ini.

"Matinya Para Petani"
Sengaja saya menuliskan subjudul "Matinya Para Petani" yang terkesan bombastis dan hiperbolis. Subjudul ini bukan bentuk pesimisme pribadi atau bahkan untuk menakut-nakuti kaum muda. Subjudul ini berasal dari "jeritan" sejarahwan Inggris bernama Eric Hobsbawm di awal 1990an. Latar belakang lahirnya frase ini adalah menurunnya angka statistik jumlah petani di Eropa dan Amerika Utara sebagai akibat konflik agraria di kedua Negara tersebut.

"Petani hanyalah terminologi cerita rakyat yang diadopsi ke dalam ilmu sosial, yang tidak punya presisi apapun," demikian nada sumbang Anthony Leeds (1977). Dalam diskusi ilmu sosial, kata "petani" memang problematik dan menyimpan kerumitan untuk mendefinisikannya. Siapakah yang dapat disebut petani? Dalam bahasa Inggris, kita dapat menemukan kata "peasant" dan "farmer". Pembedaan penyebutan ini memuat asumsi status ekonomi dan ideologi kelas sosial tertentu.

Petunjuk terpenting terkait pembedaan di atas datang dari Eric Wolf (1950), yang secara khusus meneliti kaum tani. Seseorang disebut petani jika ia memproduki hasil  pertanian yang tujuan utamanya ialah subsistensi atau memproduksi hasil pertanian semata-mata untuk bertahan hidup dan mempertahankan status sosial mereka. 

Batasan ini nampaknya sejalan dengan makna awal kata "peasant" yang pertama muncul dalam bahasa Inggris pada sekitar akhir abad pertengahan dan awal abad pencerahan, yang berarti 'orang miskin pedesaan', 'orang biasa', maupun 'orang sederhana', yang tidak harus selalu terlibat dalam pertanian. Dalam perkembangannya,  kata "peasant" kemudian memperoleh makna peyoratifnya menjadi "bodoh dan kasar".

Berbeda dengan "peasant", seseorang disebut "farmer" jika mereka yang menghasilkan produk pertanian dengan tujuan untuk melakukan re-investasi dan ekspansi usaha produksinya. Dengan kata lain terjadinya proses akumulasi modal kapital.  "Farmer" memiliki akar kata dalam bahasa Perancis "ferme", yang berarti 'sewa' atau 'pinjam'. "Farmer"adalah seorang wirausahawan di bidang pertanian yang mengembangkan dan melipatgandakan modal. 

Barangkali akan menjadi rumit untuk merumuskan definisi "petani" di Indonesia. Jeritan "Matinya Para Petani" Eric Hobsbawm bisa menjadi kenyataan atau bahkan ilusi yang memabukkan.  Barangkali petani sudah mati di negeri kapitalis dan industrialis. Tetapi di negeri agraris, petani tetaplah hidup. 

Namun demikian dalam konteks ini, kita tetap perlu bersikap kritis-analitis. Adakah data yang secara tegas memilah dengan tegas kategori "peasant" dan "farmer"? Jika dihadapkan pada kategori "peasant" dan "farmer", apa yang akan dipilih oleh kaum muda? Ataukah yang terjadi justru kamu muda terjebak dalam bentuk-bentuk eksploitasi baru dengan memilih bekerja di lahan pertanian atau perkebunan?

Penutup
Di titik inilah praksis kaum muda di bidang pertanian mesti ditempatkan. Moral ekonomi petani (kaum muda) sebagai disebutkan James Scoot di atas, dipertaruhkan dan sekaligus menjadi salah satu tolok ukur pertanian di daerah. Mereka yang menelikung dan melenyapkan pertanian sejatinya perlu dipertanyakan moralitasnya. Mereka yang memarginalisasi kaum tani tidaklah layak menjadi pewaris kebudayaan yang sah.

Sebaliknya, kaum muda yang tekun mengolah tanah sejatinya adalah perawat kehidupan. Kaum muda yang menanggalkan gengsinya dan bergembira dalam lumpur tanah pertanian sesungguhnya adalah para pecinta yang tulus. Kesetiaan pada alam dan merawat sumber-sumber penghidupan adalah bentuk rasa syukur yang mendalam terhadap semesta dan keutuhan ciptaan Ilahi.  Inilah lubang jarum yang harus dimasuki kaum muda Indonesia. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun