Di era 2000an, lahirlah studi "Teologi Petani : Analisis Peran Islam dalam Radikalisme Gerakan Petani pada Forum Perjuangan Petani Nelayan Batang Pekalongan (FP2NB) di Kabupaten Batang dan Pekalongan". Â
Dan terakhir, penelitian yang dilakukan Hilma Safitri pada tahun 2010, yang juga melakukan studi terhadap gerakan petani di Batang dengan judul "Gerakan Politik Forum Paguyuban Petani Kabupaten Batang (FPPB)". Secara umum hasil penelitian di atas memiliki benang merah bahwa latar belakang petani melakukan gerakan perlawanan lebih di dasari atas aspek ekonomi, sejarah kepemilikan tanah dan budaya.
Sampai disini adakah diantara kita (kaum muda) menyadari bahwa menjadi seorang petani mengandung pesan moral yang sangat kuat dan sebagai bentuk perlawanan yang hegemonik terhadap penguasa dan kaum industrialis? Tunggu dulu dan bersabarlah dengan pembahasan dibawah ini.
"Matinya Para Petani"
Sengaja saya menuliskan subjudul "Matinya Para Petani" yang terkesan bombastis dan hiperbolis. Subjudul ini bukan bentuk pesimisme pribadi atau bahkan untuk menakut-nakuti kaum muda. Subjudul ini berasal dari "jeritan" sejarahwan Inggris bernama Eric Hobsbawm di awal 1990an. Latar belakang lahirnya frase ini adalah menurunnya angka statistik jumlah petani di Eropa dan Amerika Utara sebagai akibat konflik agraria di kedua Negara tersebut.
"Petani hanyalah terminologi cerita rakyat yang diadopsi ke dalam ilmu sosial, yang tidak punya presisi apapun," demikian nada sumbang Anthony Leeds (1977). Dalam diskusi ilmu sosial, kata "petani" memang problematik dan menyimpan kerumitan untuk mendefinisikannya. Siapakah yang dapat disebut petani? Dalam bahasa Inggris, kita dapat menemukan kata "peasant" dan "farmer". Pembedaan penyebutan ini memuat asumsi status ekonomi dan ideologi kelas sosial tertentu.
Petunjuk terpenting terkait pembedaan di atas datang dari Eric Wolf (1950), yang secara khusus meneliti kaum tani. Seseorang disebut petani jika ia memproduki hasil  pertanian yang tujuan utamanya ialah subsistensi atau memproduksi hasil pertanian semata-mata untuk bertahan hidup dan mempertahankan status sosial mereka.Â
Batasan ini nampaknya sejalan dengan makna awal kata "peasant" yang pertama muncul dalam bahasa Inggris pada sekitar akhir abad pertengahan dan awal abad pencerahan, yang berarti 'orang miskin pedesaan', 'orang biasa', maupun 'orang sederhana', yang tidak harus selalu terlibat dalam pertanian. Dalam perkembangannya, Â kata "peasant" kemudian memperoleh makna peyoratifnya menjadi "bodoh dan kasar".
Berbeda dengan "peasant", seseorang disebut "farmer" jika mereka yang menghasilkan produk pertanian dengan tujuan untuk melakukan re-investasi dan ekspansi usaha produksinya. Dengan kata lain terjadinya proses akumulasi modal kapital. Â "Farmer" memiliki akar kata dalam bahasa Perancis "ferme", yang berarti 'sewa' atau 'pinjam'. "Farmer"adalah seorang wirausahawan di bidang pertanian yang mengembangkan dan melipatgandakan modal.Â
Barangkali akan menjadi rumit untuk merumuskan definisi "petani" di Indonesia. Jeritan "Matinya Para Petani" Eric Hobsbawm bisa menjadi kenyataan atau bahkan ilusi yang memabukkan. Â Barangkali petani sudah mati di negeri kapitalis dan industrialis. Tetapi di negeri agraris, petani tetaplah hidup.Â
Namun demikian dalam konteks ini, kita tetap perlu bersikap kritis-analitis. Adakah data yang secara tegas memilah dengan tegas kategori "peasant" dan "farmer"? Jika dihadapkan pada kategori "peasant" dan "farmer", apa yang akan dipilih oleh kaum muda? Ataukah yang terjadi justru kamu muda terjebak dalam bentuk-bentuk eksploitasi baru dengan memilih bekerja di lahan pertanian atau perkebunan?
Penutup
Di titik inilah praksis kaum muda di bidang pertanian mesti ditempatkan. Moral ekonomi petani (kaum muda) sebagai disebutkan James Scoot di atas, dipertaruhkan dan sekaligus menjadi salah satu tolok ukur pertanian di daerah. Mereka yang menelikung dan melenyapkan pertanian sejatinya perlu dipertanyakan moralitasnya. Mereka yang memarginalisasi kaum tani tidaklah layak menjadi pewaris kebudayaan yang sah.