Mohon tunggu...
Wahyu Widayat
Wahyu Widayat Mohon Tunggu... Human Resources - Seorang eseis sastra, politik dan budaya. Penulis tinggal di Gunungkidul.

Hobi fotografi dan fasilitator pelatihan pengembangan sumber daya manusia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Pagebluk dan Mitos

22 September 2020   00:07 Diperbarui: 22 September 2020   00:56 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melawan Lupa dan Ingatan Penderitaan

Frase politis "Melawan Lupa" buah pikir Milan Kundera dalam The Book of Laughter and Forgetting seolah hidup lagi. Sikap "lupa" entah sengaja atau tidak sengaja nampaknya menjadi tabiat buruk homo sapiens yang perlu dilawan.

Barangkali memang terkesan bombastis, namun demikianlah kenyataannya. Manusia mudah lalai dan abai dengan masalah yang dihadapi, yaitu melupakan mencari solusi terhadap akar masalah.

Saya menyakini, buah pikir Milan Kundera "Melawan Lupa" memiliki korelasi dengan pendahulunya, Walter Benjamin. Walter Benjamin merumuskan gagasannya dalam konteks politik, persis seperti Milan Kundera. Bagi Benjamin, "ingatan" adalah hal yang eksistensial.

Masa lalu berperan membentuk eksistensi manusia di masa kini. Dalam hal ini, ingatan berperan menjembatani antara subyek yang mengingat dan hal yang diingat. Masa lalu akhirnya berulang dengan intensitas yang berbeda dan terjadi di masa kini. Ingatan adalah bentuk perlawanan. Disinilah locus pagebluk dan mitos bagi orang Jawa mesti dikaji ulang.

Mitos

Mustahil untuk dibantah bahwa Covid 19 disebut sebagai pagebluk bagi orang Jawa. Tentu anggapan ini mendasarkan pada dampak Covid 19 terhadap hajat hidup manusia Jawa. Salah satu hal yang menarik dalam merespon Covid 19 adalah adalah munculnya kembali mitos-mitos yang selama ini dikenal oleh masyarakat.

Sejak kemunculan Covid 19 di Indonesia, tidak sedikit ikhtiar budaya dilakukan untuk mencegah wabah ini. Dalam catatan saya, mitos-mitos yang muncul adalah sayur lodeh, tembang-tembang anggitan Sunan Kalijaga, Sabdo Palon dan Naya Genggong, bala tentara Allah, memasang janur kuning dan kunyit di pintu rumah, makan kari ayam dan berjemur hingga teori konspirasi terkait Covid 19. Tidak sedikit unggahan tentang mitos-mitos ini bertebaran di media sosial.

Dalam masyarakat berkultur agraris, keberadaan mitos adalah hal yang biasa. Mitos bukanlah hal terkait benar dan tidak benar. Ia adalah sebentuk keyakinan masyarakat yang dirawat dan dipelihara.

Bagi orang Jawa seringkali mitos dihubungan dengan hal yang mistis, ganjil dan takhayul. Secara harafiah, mitos dianggap sebagai kepercayaan yang mendasarkan pada dongeng/narasi turun temurun yang sulit dibuktikan secara riil dan rasional. Bahkan kisah masa lalu sebagai tafsiran tentang alam dan semesta juga dianggap sebagai mitos.

Mitos lahir dari rasa gumun dan ketakjuban. Kegumunan dan ketakjuban itulah yang kemudian melahirkan sikap penasaran, keingintahuan dan pertanyaan. Mitos diciptakan untuk menjaga harmoni. Tanpa mitos, manusia Jawa mengalami kekeringan batin. Mitos adalah cara manusia Jawa berkomunikasi dengan entitas yang lain. Di era serba digital, kita tetap membutuhkan mitos sebagai penyelaras hal yang serba teknis dan matematis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun