Dalam era yang semakin terhubung secara digital, ancaman terhadap keamanan dan privasi informasi semakin meningkat tajam. Kejahatan digital menjadi salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh dunia teknologi informasi saat ini. Pentingnya menghasilkan dan memiliki praktisi teknologi informasi (IT) yang berbudi luhur tidak dapat diabaikan, karena mereka memiliki peran sentral dalam pencegahan dan perlindungan terhadap ancaman aspek digital. Hal tersebut menjadi alasan mengapa semangat berbudi luhur dalam industri IT dapat berdampak besar dalam mengatasi kejahatan digital dan menjaga integritas dunia digital.
Ancaman Kejahatan Digital
Dunia mencatat besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh berbagai kejahatan digital yang pernah terjadi. Diantaranya  yaitu serangan ransomware WannaCry yang menginfeksi jaringan komputer pada tahun 2017 dengan memanfaatkan kerentanan dalam sistem operasi Windows yang belum diperbarui. Ribuan komputer di seluruh dunia terkena dampaknya, termasuk rumah sakit, perusahaan, dan pemerintah. Dengan total kerugian mulai ratusan juta hingga milyaran rupiah.[1]Â
Sedangkan di Indonesia sempat heboh serangan aplikasi undangan .apk yang menyebar melalui aplikasi pesan online pada platform Android. Serangan tersebut mencuri data pribadi dan keuangan korban melalui penguasaan perangkat yang terinfeksi. Salah satu korban bahkan ada yang mengalami kerugian keuangan sampai 1,4 Milyar dari satu serangan. Â Bisa dibayangkan bila kerugian tersebut diakumulasi ke seluruh korban pihak yang menjadi korban.[2]
Belum lagi dengan ancaman spyware Pegassus yang sampai saat ini diklaim belum ada penangkalnya. Spyware ini merupakan buatan perusahaan NSO Group Technologies asal Israel[3]. Â Pada interview di podcast Shawn Ryan Show yang ditayangkan kanal Youtube.com pada 9 Mei 2023, peretas Ryan Montgomery yang berhasil membongkar kejahatan predator anak melalui internet, mengatakan bahwa Pegasus dapat menginfeksi tanpa ada intervensi dari pemilik/korban. Penyerang dapat menyerang peralatan korban kapanpun dia mau tanpa korban menyadari atau harus berinteraksi dengan spyware tersebut. Artinya, saat ini, menurut Ryan kita tidak bisa melakukan apa-apa saat sudah menjadi target spyware ini.[4]Â
Dan yang lebih menghawatirkan adalah adanya informasi jejak Pegasus di Indonesia. Hal tersebut dilansir oleh Tempo pada 11 Juni 2023. Pada laporannya, Tempo mengatakan bahwa spyware tersebut masuk ke Indonesia pada tahun 2018 dan diduga pernah dipakai oleh lembaga pemerintah. Peneliti CitizenLab asal Indonesia, Irene Poetranto menduga Pegasus telah dipakai secara luas di Asia Tenggara. [5]
Â
 Langkah Pencegahan
Berbagai cara dan langkah telah disampaikan oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk menekan dan menghentikan peningkatan kejahatan digital. Mulai dari penerapan Undang-Undang  Nomor 11 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sampai dengan berbagai penyuluhan untuk lebih memahami dunia digital seperti Program Literasi Digital oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Hal tersebut tentunya untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban kejahatan digital yang banyak menyerang masyarakat yang kurang memahami dunia digital.
 Keberhasilan metode tersebut tentunya akan lebih baik bila dibarengi dengan peningkatan kesadaran etika moral para praktisi IT yang selama ini terlibat pada akitivas kejahatan digital.  Inilah alasan mengapa praktisi IT yang berbudi luhur sangat penting. Semangat berbudi luhur menciptakan lingkungan kerja yang berintegritas tinggi dan bertanggung jawab, yang pada gilirannya akan membantu mencegah terjadinya kejahatan digital.
Â