Mohon tunggu...
Wahyu Fadhli
Wahyu Fadhli Mohon Tunggu... Penulis - Buku, pesta, dan cinta

tulisan lainnya di IG : @w_inisial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Zakat untuk Ekonomi Sosial Masyarakat

23 Mei 2020   21:37 Diperbarui: 23 Mei 2020   21:46 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : tribunnews.con

Bulan ramadhan telah berlangsung dan dilalui selama satu bulan penuh. Bisa dibilang bulan ramadhan tahun ini adalah bulan yang cukup unik dan menarik. 

Sebabnya tentu kita semua mengetahui bersama, pandemi yang merasuk kesagala lini, termasuk proses peribadatan dan budaya kita. Bulan ramadhan yang kita lakukan selama ini selalu ada unsur budaya 'berkumpul' didalamnya. 

Budaya 'melekan' setelah tadarus hingga waktu sahur tiba terpaksa harus ditiadakan. Alasannya sudah barang tentu untuk menghormati kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk memutus rantai pemyebaran pandemi.

Sudah kita alami bersama beberapa waktu belakangan, dampak yang dirasa oleh wong cilik yakni perihal ekonomi. Belum lagi beberapa diantara mereka ada yang terkena PHK dari perusahaannya. Ekonomi dalam keluarganya pun tak kalah kocar kacir dengan perekonomian yang dialami oleh negara. Beberapa kebijakan untuk menjaga perekonomian tetap stabil pun telah dilakukan pemerintah. 

Namun, dampaknya juga tidak bisa dirasakan langsung oleh warga negaranya. Mulai dari himabuan untuk berhemat, membeli produk UMKM, dan lain sebagainya sudah dikeluarkan oleh pemerintah. Uniknya, disisi lain pemerintah mengeluarkan himbauan untuk menjaga perekonomian stabil, pemerintah sendiri pun juga mengeluarkan kebijakan yang bisa dikatakan memukul perasaan rakyat yang mengalami kesulitan ekonomi. 

Salah satunya yaitu kenaikan tarif iuran BPJS. Jika memandang hal tersebut hanya dari sisi masyarakat saja memang dirasa memang memberatkan masyarakat. Padahal kita juga belum tahu jika dipandang dari sisi pemerintah itu sendiri. Bisa jadi itu untuk menyelamatkan perekonomian negara..

Dari segi manapun kita memandang, agaknya memang harus ada sisi lain lagi yang diambil kemanfaatannya. Sisi kreativitas masyarakat itu sendiri juga diperlukan untuk memperbaiki perekonomian dapurnya. 

Sebab, di zaman yang tidak bisa bermurah hati ini, rakyat tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah saja. Bukan ada maksud untuk mengangkat rasa tidak percaya pada pemerintah, namun itulah kenyataan yang terjadi di zaman saat ini, kreativitas dituntut dari setiap individu.

Pada momen berakhirnya bulan puasa dan menyambut hari raya Idul Fitri ini, saya mengajak untuk kembali merenungi beberapa konsep yang ditawarkan Islam untuk membantu perekonomian rakyat. 

Lebih jelasnya pada tulisan ini saya mengajak kita untuk memikirkan konsep sebenarnya dari zakat. Secara garis besar, zakat adalah sebagian harta yang harus dikeluarkan untuk membersihkan diri dan harta benda yang kita miliki selama satu tahun. Hasil daripada zakat itu akan disalurkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. 

Lantas perntanyaannya, apakah zakat hanya bertujuan untuk membersihkan saja, atau untuk menjalankan kewajiban umat muslim saja? Apakah hanya sesempit itu? Ternyata tidak.

Makna dari tujuan zakat itu sendiri ternyata lebih luas dan bijak. Sebelum masuk kedalam pembahasan itu, saya ingin mengajak kita untuk sedikit berbicara tentang konsep ekonomi dalam Islam. Ekonomi dalam konsep Islam tidak ada istilah ekonomi kapital atau ekonomi sosial. Konsep perekonomiannya lebih condong kepada penggabungan kedua konsep yang digunakan dunia saat ini. 

Garis besarnya, silahkan kalian memperkaya diri tapi jangan pernah lupa untuk memperhatikan kesejahteraan orang lain. Sedikit contoh, ada sebuah hikayat pada saat Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Saat itu perekonomian kaum muhajirin sempat merosot disebabkan oleh perjalanan hijrah yang memakan waktu cukup panjang itu. 

Nabi melihat beberapa potensi yang ada di Madinah, yakni benerapa kebun kurma yang dimiliki oleh beberapa orang di kaum ansor. Kemudian Nabi memutuskan untuk membeli kebun kurma itu kemudian hasilnya dibagi bersama untuk kesejahteraan seluruh umat, konsep tersebut yang saat ini kita kenal dengan nama wakaf.

Dari hikayat tersebut, bisa dilihat bahwasamya Nabi sendiri tidak pernah membedakan konsep ekonomi secara radik. Beliau lebih memilih untuk menggabungkannya yang mana tujuan puncaknya yaitu untuk perekonomian umat. Begitupun dengan zakat yang pada saat tulisan ini diposting beberapa dari kita sudah melaksanakannya. 

Zakat tidak melulu soal pemenuhan kita kepada Tuhan sebagai hambanya. Ataupun juga bukan soal sarana 'pembersihan' diri. Konsep zakat lebih luas lagi, yakni mencakup keberlangsungan perekonomian masyarakat. Dengan zakat harta yang kita miliki selama ini setidaknya juga bisa bermanfaat untuk orang lain, lebih-lebih untuk orang yang membutuhkan. 

Umat muslim pastinya jugq sudah mengetahui bahwa sejatinya keseluruhan harta kita ada sebagian harta yang menjadi milik orang lain. Mungkin kita yang dianugerahi keuangan yang cukup seringkali tidak sadar bahwa ada beberapa orang yang tidak bisa merayakan hari raya seperti kita. Ada beberapa orang yang tidak bisa membeli baju lebaran baru dikarenakan harus memenuhi kebutuhan dapurnya. Zakat inilah yang sesungguhnya akan mengarah kesana, kepada bagaiamana kita bisa membantu orang lain. 

Ditinjau lagi dengan situasi sulit seperti saat ini. Mungkin saja kurva yang menunjunkkan angka kemiskinan di Indonesia meningkat drastis. Dengan adanya perenungan konsep zakat ini, mungkin bisa mengasah kita untuk saling peduli. Dan bukan berarti setelah hari raya usai kita kembali acuh tak acuh. Perenungan yang sesungguhnya bukan sepeeri itu. Perenungan sejati adalah yang bisa membuat diri kita menjadi lebih baik lagi.

Kembali pada redaksi awal tadi, bahwa di zaman yang tidak mudah bermurah hati ini kita tidak dianjurkan untuk selalu bergantung pada pemerintah. Kita harus mempunyai titik inovasi tersendiri. Entah itu dari sisi keyakinan kita, atau mungkin bisa muncul dari sisi kreativitas kita yang lain. 

Semoga secuil perenungan ini akan menambah kesadaran kita, bahwa hari raya Idul Fitri tidak harus dimaknai dengan senang-senang. Namun lebih daripada itu, Idul Fitri harus bisa membawa kita untuk menjadi manusia yang peduli, manusia yang mengajak manusia lain untuk berbahagia bersama.

Allahu Akbar Walillahilham

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun