Makna dari tujuan zakat itu sendiri ternyata lebih luas dan bijak. Sebelum masuk kedalam pembahasan itu, saya ingin mengajak kita untuk sedikit berbicara tentang konsep ekonomi dalam Islam. Ekonomi dalam konsep Islam tidak ada istilah ekonomi kapital atau ekonomi sosial. Konsep perekonomiannya lebih condong kepada penggabungan kedua konsep yang digunakan dunia saat ini.Â
Garis besarnya, silahkan kalian memperkaya diri tapi jangan pernah lupa untuk memperhatikan kesejahteraan orang lain. Sedikit contoh, ada sebuah hikayat pada saat Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Saat itu perekonomian kaum muhajirin sempat merosot disebabkan oleh perjalanan hijrah yang memakan waktu cukup panjang itu.Â
Nabi melihat beberapa potensi yang ada di Madinah, yakni benerapa kebun kurma yang dimiliki oleh beberapa orang di kaum ansor. Kemudian Nabi memutuskan untuk membeli kebun kurma itu kemudian hasilnya dibagi bersama untuk kesejahteraan seluruh umat, konsep tersebut yang saat ini kita kenal dengan nama wakaf.
Dari hikayat tersebut, bisa dilihat bahwasamya Nabi sendiri tidak pernah membedakan konsep ekonomi secara radik. Beliau lebih memilih untuk menggabungkannya yang mana tujuan puncaknya yaitu untuk perekonomian umat. Begitupun dengan zakat yang pada saat tulisan ini diposting beberapa dari kita sudah melaksanakannya.Â
Zakat tidak melulu soal pemenuhan kita kepada Tuhan sebagai hambanya. Ataupun juga bukan soal sarana 'pembersihan' diri. Konsep zakat lebih luas lagi, yakni mencakup keberlangsungan perekonomian masyarakat. Dengan zakat harta yang kita miliki selama ini setidaknya juga bisa bermanfaat untuk orang lain, lebih-lebih untuk orang yang membutuhkan.Â
Umat muslim pastinya jugq sudah mengetahui bahwa sejatinya keseluruhan harta kita ada sebagian harta yang menjadi milik orang lain. Mungkin kita yang dianugerahi keuangan yang cukup seringkali tidak sadar bahwa ada beberapa orang yang tidak bisa merayakan hari raya seperti kita. Ada beberapa orang yang tidak bisa membeli baju lebaran baru dikarenakan harus memenuhi kebutuhan dapurnya. Zakat inilah yang sesungguhnya akan mengarah kesana, kepada bagaiamana kita bisa membantu orang lain.Â
Ditinjau lagi dengan situasi sulit seperti saat ini. Mungkin saja kurva yang menunjunkkan angka kemiskinan di Indonesia meningkat drastis. Dengan adanya perenungan konsep zakat ini, mungkin bisa mengasah kita untuk saling peduli. Dan bukan berarti setelah hari raya usai kita kembali acuh tak acuh. Perenungan yang sesungguhnya bukan sepeeri itu. Perenungan sejati adalah yang bisa membuat diri kita menjadi lebih baik lagi.
Kembali pada redaksi awal tadi, bahwa di zaman yang tidak mudah bermurah hati ini kita tidak dianjurkan untuk selalu bergantung pada pemerintah. Kita harus mempunyai titik inovasi tersendiri. Entah itu dari sisi keyakinan kita, atau mungkin bisa muncul dari sisi kreativitas kita yang lain.Â
Semoga secuil perenungan ini akan menambah kesadaran kita, bahwa hari raya Idul Fitri tidak harus dimaknai dengan senang-senang. Namun lebih daripada itu, Idul Fitri harus bisa membawa kita untuk menjadi manusia yang peduli, manusia yang mengajak manusia lain untuk berbahagia bersama.
Allahu Akbar Walillahilham
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H