Mohon tunggu...
Wahyu Fadhli
Wahyu Fadhli Mohon Tunggu... Penulis - Buku, pesta, dan cinta

tulisan lainnya di IG : @w_inisial

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Indonesia Darurat Sipil, Perlukah?

31 Maret 2020   19:00 Diperbarui: 31 Maret 2020   20:08 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : tempo.co

Sejak tadi malam hingga kurang lebih siang hari tadi, ada satu trending topik di media sosial yang bertahan cukup lama, yaitu penolakan warganet terhadap rencana Presiden Jokowi memberlakukan darurat sipil dalam rangka pencegahan covid-19 yang kian meluas dengan melambungkan tagar #TolakDaruratSipil . 

Selanjutnya sembari kita dirumah dan untuk tetap menjaga otak dan pikiran kita tetap bekerja, mari kita kupas bersama apa itu Keadaan Bahaya atau Darurat Sipil. 

Darurat Sipil tertuang pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya. Perppu tersebut pertama kali ditanda tangani dan dikeluarkan oleh Presiden Sukarno sesaat setelah mengumumkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Isi Dekrit Presiden tersebut diantaranya adalah :

1. Dibubarkannya Konstituante

2. Diberlakukannya kembali UUD 1945

3. Dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang berlaku sesingkat singkatnya. 

Didalam Perppu tersebut mengatur tentang Darurat Militer, Darurat Sipil, dan Keadaan perang. Kesemuanya saling bertautan satu sama lain, karena Perppu ini memang dibuat untuk para pimpinan eksekutif tetap bisa menjalankan pemerintahan selama negara berada dalam keadaan darurat. 

Pada era Presiden Suharto, Perppu ini juga pernah diterapkan pada saat Aceh sedang bergejolak. Presiden Suharto saat itu memberlakukan Darurat Militer untuk wilayah Aceh. 

Pada era Presiden BJ Habibie kebijakannya dirubah sehingga menjadi Darurat Sipil untuk wilayah Aceh yang disebabkan oleh pemberontakan bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM). 

Pada tahun 1999 Darurat Militer kembali diterapkan di Timor Timur atas dasar usulan dari Panglima ABRI saat itu, Jenderal Wiranto. Masa kepemimpinan Presiden Megawati pada tahun 2004, Darurat Militer kembali diterapkan di wilayah Aceh. 

Ada sebuah istilah dalam Hukum Tata Negara Darurat, yaitu rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan darurat atau bahaya yang mengancam, ke dalam kehidupan menurut perundang-undangan dan hukum yang umum dan biasa. Syarat negara dalam keadaan darurat adalah sebagai berikut :

1. Ada bahaya negara yang patut dihadapi dengan upaya luar biasa. 

2. Upaya biasa, pranata umum dan lazim tidak memadai untuk digunakan menanggapi dan menanggulangi bahaya yang ada. 

3. Kewenangan luar biasa yang diberikan dengan hukum kepada pemerintah negara untuk secepatnya mengakhiri bahaya darurat tersebut, kembali ke dalam kehidupan normal. 

4. Kewenangan luar biasa itu, dan hukum tata negara darurat itu untuk sementara waktu saja, sampai keadaan darurat itu dipandang tidak membahayakan lagi. 

Dalam beberapa keadaan tersebut, seorang pemegang puncak kekuasaan eksekutif atau disebut dengan 'The Sovereign Executive' memiliki hak prerogatif pada saat negara berada dalam situasi darurat. The Sovereign Executive juga bisa mengecualikan berlakunya hukum biasa (Ordinary Laws) saat negara tengah terancam. 

Dalam beberapa sejarah yang telah disebutkan diatas, belum ada satupun Perppu ini digunakan atau diterapkan pada saat negara diserang wabah seperti saat ini. 

Perppu ini dari sejarahnya baru diterapkan jika negara sedang terancam secara konstitusi. Lalu apakah serangan wabah ini termasuk serangan yang membahayakan negara? Jika menurut syarat-syarat negara darurat yang telah disebutkan diatas tadi, maka jawabannya bisa jadi iya. 

Beberapa syarat tersebut mengandung konteks yang terlampau umum, sehingga siapapun presidennya ketika membaca atau mempelajari syarat tersebut maka bisa jadi saat ini menyimpulkan negara berada dalam situasi darurat. Namun sebenarnya bukan pada teks hukum saja kita mengacu. Hal ini juga harus dilihat dan disikapi sesuai dengan kondisi negara saat ini. 

Dampak baik dari diberlakukannya Darurat Sipil ini mungkin lebih mengarah kepada mudahnya pemerintah mengatur aparat dan juga rakyat ketika situasi negara sedang carut marut saat ini. 

Pemerintah memiliki hak prerogatif untuk mengatur pemberitaan media yang cenderung hanya menakut-nakuti atau bahkan memberangus media penyebar hoax. 

Pemerintah bisa mengatur negara dengan mudah tanpa harus mengorbankan perekonomian seperti jika solusi yang dipilih adalah lockdown total. 

Dalam hal ini skenario Presiden Jokowi mungkin akan memberlakukan Darurat Sipil di beberapa daerah saja, seperti wilayah yang tercatat sebagai episentrum penyebaran covid-19 dan wilayah yang dianggap sebagai zona merah. Sehingga aparat-aparat negara lebih mudah melakukan pengawasan pada daerah tersebut. 

Pemberlakuan Darurat Sipil juga sudah pasti akan menimbulkan beberapa dampak negatif yang akan dirasakan oleh seluruh elemen negara. Beberapa diantaranya akan ada pelanggaran HAM di beberapa tempat atau bahkan bisa menyebar keseluruh negara. 

Media-media akan dibatasi untuk melakukan pemberitaan yang mereka lihat dan alami di lapangan. Pemerintah hanya akan memberitakan apa saja yang sesuai dengan protokol pemerintahan. Bisa juga dalam ini pemerintah menyembunyikan data asli penyebaran covid-19. 

Akan terjadi chaos dimana-dimana, sebab hak-hak sipil yang mengalami pembatasan luar biasa dan jika masyarakat tetap bersikeras akan disanksi dengan hukuman yang tidak biasa. 

Dalam kondisi terdesak seperti itu, masyarakat akan bergerak sendiri, mereka akan menemukan alurnya untuk memenuhi kebutuhannya yang dibatasi tersebut. 

Sepanjang diberlakukannya Perppu tersebut tidak pernah sekali saja menuai dampak positif bagi masyarakat. Dampak yang terjadi justru masifnya kerusuhan di beberapa wilayah. 

Tidak mudah memang memimpin sebuah negara dengan situasi seperti saat ini. Presiden Jokowi kiranya harus bisa menerapkan taktik yang secerdik mungkin, sehingga situasi saat ini tidak bertambah kacau dan dimanfaatkan oleh beberapa golongan untuk memenuhi hasrat kebencian dan perpotilikan semata. 

Sebab, mantan Presiden RI KH. Abdurrahman Wahid pernah berucap, 'Ada yang lebih penting daripada politik, yaitu kemanusiaan'. Semoga dalam situasi pelik saat ini, kemanusiaan selalu dijunjung diatas segalanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun