Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Penulis - Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Quo Vadis Industri Baterai Listrik Tanah Air

15 Desember 2024   18:04 Diperbarui: 16 Desember 2024   11:19 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengisian kendaraan listrik di layanan Shell EV Recharge. (Sumber gambar Shell Indonesia via kompas.com)

Dalam beberapa tahun terakhir, industri baterai listrik di Indonesia terus menjadi sorotan, terutama karena perannya yang strategis dalam mendukung transisi energi bersih dan percepatan adopsi kendaraan listrik (EV).

Namun, di balik optimisme tersebut, baru-baru ini muncul berita tentang kejatuhan Northvolt, perusahaan baterai Eropa yang dulunya dielu-elukan sebagai pelopor revolusi baterai. Hal ini menjadi alarm peringatan bagi banyak negara, termasuk Indonesia.

Kejatuhan tersebut menjadi pukulan telak bagi ambisi energi hijau di kawasan tersebut. Sebagai simbol kemandirian rantai pasok baterai Eropa untuk mengurangi ketergantungan pada dominasi Tiongkok, Northvolt justru terjerat dalam utang yang membengkak dan kesalahan operasional.

Krisis ini mencerminkan rapuhnya ekonomi di industri baterai yang padat modal, di mana investasi besar harus menghadapi permintaan yang fluktuatif dan persaingan global yang ketat.

Dengan Tiongkok menguasai 85% produksi sel baterai global, Northvolt dianggap sebagai harapan untuk mengurangi ketergantungan pada perusahaan seperti CATL dan BYD. 

Namun, perlambatan adopsi EV di Eropa dan tekanan dari produsen Tiongkok menciptakan lingkungan yang sulit bagi bahkan proyek ambisius sekalipun.

Data dari European Automobile Manufacturers' Association menunjukkan bahwa pertumbuhan penjualan EV di Eropa melambat menjadi hanya 9% pada 2023, dari 18% pada 2022. Hal ini menunjukkan risiko besar bagi industri baterai yang bergantung pada skala produksi besar untuk mencapai profitabilitas.

Dampak kegagalan Northvolt meluas hingga ke ekosistem EV Eropa, di mana perusahaan seperti Volkswagen dan Scania sebagai mitra utama kini menghadapi ketidakpastian pasokan baterai. 

Jadi, dengan Volkswagen memiliki 21% saham dan Scania memberi dukungan finansial sebesar $100 juta, krisis ini berisiko meningkatkan ketergantungan pada impor Tiongkok dan memperlambat transisi energi hijau yang direncanakan.

Sumber: Dall-E
Sumber: Dall-E

Seiring dengan ambisi Indonesia dalam membangun industri baterai EV, kisah kejatuhan Northvolt menjadi pengingat penting akan risiko yang dihadapi oleh industri padat modal ini, di tengah persaingan global yang sengit. 

Setidaknya, ada dua pelajaran utama yang dapat diambil untuk pengembangan industri baterai listrik tanah air.

Pertama, pentingnya keselarasan antara kapasitas produksi dan permintaan pasar. Salah satu faktor yang memperburuk situasi Northovolt adalah ketidaksesuaian antara kapasitas produksi yang besar dengan pertumbuhan permintaan EV yang lebih lambat dari perkiraan di Eropa.

Hal ini menjadi pengingat bagi Indonesia, yang kini berinvestasi besar dalam teknologi baterai Nickel Manganese Cobalt (NMC) dan Lithium Iron Phospate (LFP). Meskipun ada kesalahpahaman publik bahwa baterai NMC tidak memerlukan litium, yang sepenuhnya keliru. Ion litium sangat diperlukan untuk menyalurkan arus listrik pada kedua jenis baterai. 

Meskipun terjadi perdebatan antara keunggulan relatifnya, kedua jenis baterai memiliki ceruk pasar masing-masing. Dan fokus Indonesia harus tertuju pada peningkatan kapasitas produksi sembari secara strategis menargetkan pasar yang tepat.

Ambisi Indonesia nampak jelas dalam dua momen penting. Pada Juli 2024, PT Hyundai LG Indonesia (HLI) Green Power di Karawang, Jawa Barat diresmikan sebagai pabrik sel baterai EV pertama di Indonesia dengan kapasitas tahunan 10 GWh, cukup untuk memasok lebih dari 150 ribu kendaraan listrik.

Kemudian, pada Oktober 2024, Indonesia melakukan ground-breaking pabrik baterai LFP pertamanya, yang dioperasikan oleh PT LBM Energi Baru Indonesia---konsorsium Tiongkok-Indonesia---di Kawasan Industri Kendal, Jawa Tengah. Dengan nilai investasi $200 juta, fasilitas in menjadi tonggak penting dalam menempatkan Indonesia sebagai pemain kunci di rantai pasok EV global.

Pelajaran dari Northvolt jelas: kapasitas produksi harus disesuaikan secara cermat dengan permintaan pasar, baik domestik maupun internasional. 

Selain itu, Indonesia perlu mendorong adopsi EV lokal melalui subsidi pembelian, pengembangan infrastruktur pengisian daya, dan kebijakan elektrifikasi armada untuk memastikan industri ini berkembang secara berkelanjutan tanpa membebani pasar yang tidak pasti.

Pelajaran kedua, diversifikasi ketergantungan pasar. Mengandalkan beberapa pelanggan besar saja dapat meningkatkan kerentanan finansial, seperti yang dialami Northvolt ketika kehilangan klien utama. Saat ini, pangsa baterai EV di Indonesia didominasi oleh teknologi NMC dan LFP, yang masing-masing memiliki keunggulan dan segmen pasar yang berbeda.

Baterai NMC sangat cocok untuk kendaraan listrik karena densitas energinya yang tinggi, memungkinkan desain yang lebih ringan dan jangkauan yang lebih jauh---faktor krusial bagi solusi mobilitas.

Selain itu, baterai NMC mendukung ekonomi sirkular karena material bernilai seperti nikel, kobalt, dan lithium dapat diaur ulang untuk mengurangi limbah sekaligus menekan biaya produksi jangka panjang. Dengan melimpahnya sumber daya nikel di Indonesia, fokus pada teknologi NMC memberikan peluang besar untuk memenuhi permintaan pasar EV global yang terus berkembang.

Di sisi lain, baterai LFP memiliki keunggulan di sektor sistem penyimpanan energi (ESS) untuk aplikasi energi terbarukan dan segmen EV tertentu yang mengutamakan aspek biaya dan keamanan, dibandingkan jangkauan dan berat.

Meskipun densitas energinya lebih rendah sehingga membuatnya lebih berat, baterai LFP unggul dalam hal keamanan, siklus hidup yang panjang, dan keterjangkauan biaya. Untuk aplikasi stasioner seperti penyimpanan energi terbarukan---dimana bobot bukan kendala---baterai LFP menjadi pilihan utama.

BloombergNEF memproyeksikan pasar global ESS akan tumbuh dari 27 GWh pada 2023 menjadi lebih dari 230 GWh pada 2030, yang didominasi oleh baterai LFP. Namun, berbeda dari NMC, LFP bergantung pada material melimpah seperti besi, sehingga memiliki nilai ekonomi yang rendah dalam proses daur ulang.

Bagi Indonesia, dinamika pasar ini menegaskan pentingnya pendekatan ganda: mengembangkan produksi baterai NMC untuk memenuhi pasar EV, sembari meningkatkan kapasitas manufaktur LFP untuk menangkap peluang besar di sektor penyimpanan energi terbarukan.

Segmentasi ini tidak hanya menyelaraskan produksi dengan kebutuhan pasar, tetapi juga mendiversifikasi risiko, memastikan ketahanan industri baterai listrik tanah air di tengah persaingan global.

Masa depan industri baterai listrik Indonesia terletak pada keberanian untuk berinovasi, beradaptasi dengan kebutuhan pasar, serta membangun fondasi yang kokoh melalui diversifikasi dan kebijakan yang tepat.

Jika langkah-langkah strategis ini dijalankan dengan cermat, Indonesia tidak hanya akan menjadi pemain utama di rantai pasok global, tetapi juga pionir transisi energi bersih di Asia Tenggara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun