Dalam beberapa tahun terakhir, industri baterai listrik di Indonesia terus menjadi sorotan, terutama karena perannya yang strategis dalam mendukung transisi energi bersih dan percepatan adopsi kendaraan listrik (EV).
Namun, di balik optimisme tersebut, baru-baru ini muncul berita tentang kejatuhan Northvolt, perusahaan baterai Eropa yang dulunya dielu-elukan sebagai pelopor revolusi baterai. Hal ini menjadi alarm peringatan bagi banyak negara, termasuk Indonesia.
Kejatuhan tersebut menjadi pukulan telak bagi ambisi energi hijau di kawasan tersebut. Sebagai simbol kemandirian rantai pasok baterai Eropa untuk mengurangi ketergantungan pada dominasi Tiongkok, Northvolt justru terjerat dalam utang yang membengkak dan kesalahan operasional.
Krisis ini mencerminkan rapuhnya ekonomi di industri baterai yang padat modal, di mana investasi besar harus menghadapi permintaan yang fluktuatif dan persaingan global yang ketat.
Dengan Tiongkok menguasai 85% produksi sel baterai global, Northvolt dianggap sebagai harapan untuk mengurangi ketergantungan pada perusahaan seperti CATL dan BYD.Â
Namun, perlambatan adopsi EV di Eropa dan tekanan dari produsen Tiongkok menciptakan lingkungan yang sulit bagi bahkan proyek ambisius sekalipun.
Data dari European Automobile Manufacturers' Association menunjukkan bahwa pertumbuhan penjualan EV di Eropa melambat menjadi hanya 9% pada 2023, dari 18% pada 2022. Hal ini menunjukkan risiko besar bagi industri baterai yang bergantung pada skala produksi besar untuk mencapai profitabilitas.
Dampak kegagalan Northvolt meluas hingga ke ekosistem EV Eropa, di mana perusahaan seperti Volkswagen dan Scania sebagai mitra utama kini menghadapi ketidakpastian pasokan baterai.Â
Jadi, dengan Volkswagen memiliki 21% saham dan Scania memberi dukungan finansial sebesar $100 juta, krisis ini berisiko meningkatkan ketergantungan pada impor Tiongkok dan memperlambat transisi energi hijau yang direncanakan.