Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Penulis - Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menjaga Keseimbangan Indonesia di Pasar Kendaraan Listrik

24 November 2024   03:22 Diperbarui: 24 November 2024   04:49 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Upaya negara-negara untuk mendominasi pasar kendaraan listrik (EV) dunia semakin intensif. Di tengah persaingan tersebut, Indonesia berada di posisi strategis yang tidak bisa diabaikan. Di satu sisi, ada Tiongkok, produsen EV terbesar dunia dengan rantai pasokan yang luas, subsidi pemerintah yang besar, serta kebijakan industri yang ambisius.

Di sisi lain, negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa semakin gencar menerapkan tarif serta hambatan dagang terhadap produk EV Tiongkok, guna melindungi industri mereka dan mendorong produksi domestik.

Indonesia, sebagai pemain kunci dalam rantai pasok baterai EV, harus cermat dalam menavigasi lanskap geopolitik yang kompleks ini. Pertanyaannya adalah mampukah Indonesia menjaga Bunganan baik dengan Timur dan Barat, sekaligus mengamankan posisinya dalam pasar EV global?

Pentingnya peran Indonesia dalam industri EV tak lepas dari cadangan nikel yang melimpah, komponen kunci dalam pembuatan baterai lithium-ion untuk EV. Indonesia memiliki hampir seperempat dari total cadangan nikel dunia, menempatkannya sebagai pemasok penting bagi produsen EV global.

Indonesia telah menyadari potensi tersebut, dengan menerapkan berbagai kebijakan untuk memanfaatkan kekayaan sumber dayanya, seperti pelarangan ekspor bijih nikel mentah guna mendorong pengolahan dalam negeri dan menarik investasi asing di sektor produksi baterai EV.

Upaya Indonesia mulai membuahkan hasil. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia berhasil menarik investasi besar dari pemain global, termasuk perusahaan Tiongkok seperti Contemporary Amperex Technology Co. Limited (CATL) dan perusahaan Korea Selatan, LG Energy Solution, yang telah berkomitmen membangun pabrik baterai di dalam negeri.

Dengan meningkatkan posisinya dalam rantai nilai, Indonesia tak hanya ingin menjadi pemasok bahan baku hasil hilirisasi, tetapi juga berperan sebagai pemain utama dalam industri baterai EV. Namun, ketika Indonesia memperkuat hubungan dengan Tiongkok dan negara-negara kuat Asia lainnya untuk mendukung ambisi EV-nya, ia juga harus mengelola hubungan dengan negara-negara Barat, yang semakin waspada terhadap dominasi Tiongkok di pasar EV.

Langkah terbaru Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Kanada telah memperburuk ketegangan dagang dengan Tiongkok, terutama dalam industri EV. Amerika Serikat menaikkan tarif hingga 100% untuk produk EV buatan Tiongkok, sementara Uni Eropa menerapkan tarif anti-subsidi hingga 38,1% untuk EV yang diimpor dari Tiongkok. Kanada turut mengikuti langkah ini dengan memberlakukan tarif yang sama.

Bagi Indonesia, ketegangan ini menciptakan dilema. Di satu sisi, Tiongkok adalah mitra penting bagi ambisi EV Indonesia. Perusahaan-perusahaan Tiongkok merupakan salah satu investor terbesar dalam industri pengolahan nikel dan produksi baterai di Indonesia. 

Namun, di sisi lain, Indonesia tidak bisa mengabaikan negara-negara Barat yang masih menjadi mitra dagang utama dan pasar potensial bagi komponen EV yang diproduksi Indonesia.

Lebih dari itu, ambisi Indonesia untuk mengekspor produk EV juga bisa terkena dampak dinamika perdagangan ini. Jika Indonesia meningkatkan produksi EV domestik dengan dukungan investasi dari Tiongkok, Indonesia berisiko menghadapi tarif dan pembatasan perdagangan serupa di pasar Barat.

Sebagai contoh, kedekatan Indonesia dengan Tiongkok dalam rantai pasok EV dapat menimbulkan kekhawatiran di negara-negara Barat mengenai asal bahan baku serta potensi penghindaran tarif.

Meski ketegangan perdagangan ini menghadirkan tantangan, ada peluang besar yang dapat dimanfaatkan Indonesia. Ketika negara-negara Barat berupaya mengurangi ketergantungan pada produk EV Tiongkok, Indonesia dapat memposisikan dirinya sebagai mitra yang netral dan andal bagi Timur maupun Barat.

Salah satu strategi potensial adalah melakukan diversifikasi kemitraan. Dengan menarik investasi dari lebih banyak negara---tidak hanya Tiongkok---Indonesia dapat menghindari ketergantungan berlebihan pada satu pasar.

Seperti Indonesia dapat memperdalam hubungannya dengan perusahaan Eropa dan Amerika yang tertarik untuk mendapatkan sumber baterai EV dan mineral penting seperti nikel dari tempat yang berkelanjutan dan non-Tiongkok.

Peluang lain terletak pada pengembangan pasar EV domestik. Pemerintah telah memberikan insentif untuk mendorong adopsi EV, termasuk pembebasan pajak dan subsidi bagi pembeli EV. 

Mengembangkan pasar domestik yang kuat akan mengurangi ketergantungan Indonesia pada ekspor, sekaligus menciptakan permintaan untuk baterai dan komponen EV yang diproduksi di dalam negeri. Strategi ini akan membantu Indonesia menjadi pemain global di pasar EV tanpa terlalu rentan terhadap tekanan perdagangan eksternal.

Untuk menjaga keseimbangan antara hubungan dengan Timur dan Barat serta mengamankan posisinya dalam industri EV global, Indonesia harus menerapkan pendekatan yang beragam. Pertama, diversifikasi mitra investasi. Indonesia perlu terus menarik investasi di industri baterai EV-nya, dengan menghindari ketergantungan berlebihan pada perusahaan Tiongkok. 

Mendorong investasi dari pemain global lain, seperti Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa, guna memitigasi risiko terkait ketegangan dagang.

Kedua, memperkuat produksi EV domestik. Dengan membangun pasar EV domestik yang kuat, Indonesia dapat mengurangi ketergantungannya pada ekspor. Insentif pemerintah untuk mendorong adopsi EV dan pengembangan infrastruktur akan menjadi kunci dalam memastikan permintaan terhadap baterai dan kendaraan yang diproduksi lokal.

Ketiga, menerapkan sustainability dan standar ESG. Seiring dengan meningkatnya prioritas ekonomi Barat terhadap standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), Indonesia harus memposisikan dirinya sebagai pemimpin dalam penambangan nikel yang berkelanjutan dan produksi baterai yang ramah lingkungan. 

Mengadopsi standar lingkungan dan tenaga kerja yang tinggi akan membuat produk Indonesia lebih menarik bagi pasar Barat yang mencari rantai pasok yang berkelanjutan.

Keempat, terlibat dalam diplomasi multilateral. Daripada hanya mengandalkan kesepakatan dagang bilateral, Indonesia perlu berperan lebih aktif dalam forum perdagangan multilateral, seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), untuk menangani proliferasi tarif dan hambatan dagang di sektor EV.

 Dengan bekerja sama dengan negara-negara berkembang lainnya, Indonesia dapat mendorong aturan perdagangan yang adil dan menguntungkan semua pemain di pasar EV global.

Menavigasi ketegangan perdagangan antara Tiongkok dan negara-negara Barat memerlukan diplomasi yang hati-hati, diversifikasi strategis, dan fokus pada pembangunan pasar domestik yang kuat. Dengan pendekatan yang seimbang, Indonesia dapat mengamankan tempatnya dalam industri EV global sembari menjaga hubungan baik dengan kedua kekuatan ekonomi besar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun