Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Penulis - Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Paradigma Kebijakan IPTEK Kita

1 Oktober 2022   21:25 Diperbarui: 6 Oktober 2022   07:34 1167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ada dua model pembangunan ekonomi berbasis IPTEK yang dikenal dunia. Model iptekin dan Intekip yang tidak bisa terpisah dari paradigma teknologi (Ilustrasi Pixabay)

Sudah menjadi rahasia umum bila salah satu rahasia negara maju adalah kemampuan pemberdayaan inovasi dan teknologi.

Faktor ini juga yang turut membuat negara berkembang mampu melipatgandakan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) mereka hanya dalam rentang puluhan tahun. Ambil contoh Korea Selatan, dari PDB hanya 64 dollar di tahun 1955, kini telah menyentuh 34,983 dollar pada tahun 2021.

Tentu, angka-angka tersebut mampu diraih lantaran Korea Selatan serius menggarap SDM yang berefek pada pengembangan inovasi dan teknologi mereka.

Apa implikasi teknologi terhadap ekonomi?

Rasa-rasanya tidak perlu diperdebatkan. Teknologi mampu menaikkan nilai jual suatu komoditas berkali-kali lipat.

Setidaknya ada dua model pembangunan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikenal dunia. Model iptekin (ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi) serta intekip (inovasi, teknologi, ilmu pengetahuan).

Kedua model pembangunan tersebut tidak bisa dipisahkan dari paradigma sebuah bangsa dalam memandang pemberdayaan teknologi.

Negara-negara maju di Eropa dan Amerika biasa menggunakan lintasan iptekin. Berawal dari temuan melalui eksplorasi/riset ilmu dasar, berlanjut ke invensi teknologi dan berakhir pada inovasi produk komersial.

Kemampuan difusi produk komersial tersebut menembus pasar global menjadi ujung tombak evolusi pembangunan ekonomi negara-negara maju.

Lintasan intekip ditempuh oleh negara-negara baru yang menyandang status negara maju pasca abad kolonialisme, seperti Jepang, Korea Selatan, dan China.

Pembangunan negara Asia Timur tersebut berawal dari penyempurnaan inovasi (seringkali peniruan kreatif), berlanjut ke penyempurnaan dengan riset untuk invensi teknologi, dan berakhir pada penyempurnaan riset untuk penemuan ilmu-ilmu fundamental.

Produk komersial hasil penyempurnaan tersebut cukup ampuh untuk menembus pasar global, salah satunya akibat harga miring yang bersaing.

Ada perbedaan mendasar antara model pembangunan iptekin di negara-negara Barat dengan model intekip yang diterapkan negara Asia Timur.

Bila di Barat, budaya ilmu pengetahuan mengakar kuat di masyarakat. Sementara di Timur, pembangunan intekip identik dengan ketertinggalan dalam budaya ilmu pengetahuan.

Kata kuncinya ada pada pembelajaran tanpa henti. Negara-negara Asia Timur telah berhasil sampai ke ujung lintasan intekip dan membangun fundamental ekonomi mereka berasaskan ilmu pengetahuan.

Saya jadi teringat dengan salah satu argumen solid dari Yuval Noah Harari di bukunya, Sapiens. Ia menyebut musuh terbesar umat manusia adalah irelevansi.

Ketidakrelevanan tersebut datang lantaran manusia memutus rantai pembelajaran. Akibatnya, segala yang diketahui akan obsolete atau ketinggalan zaman.

Berharga untuk diingat, Indonesia pernah menjajal pembelajan melalui lintasan intekip dan telah berhasil sampai tahap invensi teknologi. Namun, segalanya keburu runtuh gegara krisis moneter 1998.

Paradigma Kebijakan Iptek.

Dengan mendasarkan pada kebutuhan zaman dan realitas pembangunan ekonomi, setidaknya ada lima paradigma yang dikenal.

(1) Dorongan riset dasar di medio 1950-an sampai membawa manusia menginjak bulan, (2) Transfer teknologi pada 1960-an dari negara maju ke negara berkembang, (3) Teknologi tepat guna pada 1970-an melalui adaptasi teknologi barat sesuai kebutuhan lokal, (4) Sistem inovasi tahun 1980-an sampai 1990-an yang menghadirkan interaksi semua aktor terkait inovasi, dan (5) sistem inovasi transformatif dari 2000-sekarang dengan tambahan misi pembangunan berkelanjutan. Sebagai catatan, tidak ada satupun paradigma yang benar-benar relevan, perlu adanya adopsi untuk menyesuaikan kepentingan dan kondisi domestik.

Lalu, apa kabar paradigma kebijakan iptek kita hari ini?

Kita bisa melihatnya melalui sepak terjang lembaga Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Walau sempat menimbulkan prahara di awal tahun melalui peleburan beberapa institusi riset negara, agaknya kita kembali ke paradigma lama dengan dorongan riset dasar (1950-an).

Sebagai sebuah pilihan kebijakan di tengah negara yang menganut paham demokrasi, itu sah-sah saja. Namun, apakah hal tersebut tepat dan mampu berkontribusi untuk pembangunan ekonomi Indonesia ke depan?

Perlu diingat, struktur piramida ekonomi kita hampir 97% dipenuhi oleh usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Mereka sepenuhnya masih bergantung dan berjibaku dengan produk impor.

Kita tentu perlu berharap kepada lembaga riset raksasa BRIN. Bagaimana paradigma riset dasar yang diambil dalam lintasan iptekin-nya mampu melipatgandakan PDB Indonesia hanya dalam beberapa puluh tahun saja, demi mengubah status Indonesia menjadi negara maju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun