Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Penulis - Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Commodity Boom dan Kesinambungan Fiskal

21 Agustus 2022   21:10 Diperbarui: 22 Agustus 2022   07:20 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi fiskal (Sumber: shutterstock)

Ada korelasi yang pasti antara kas pendapatan negara dengan kondisi global. Muramnya ketidakpastian global membuat menteri keuangan di banyak negara pusing memutar strategi, agar pendapatan negara senantiasa berada pada tren surplus. 

Tentu, hal tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang digunakan serta model pendapatan negara yang dijadikan sandaran. 

Di tengah stagfalasi global yang dipicu eskalasi krisis Ukraina dan terganggunya rantai pasok membuat banyak negara terjerembab pada tren negatif fiskal.

Kita patut bersyukur, di tengah kecamuk ancaman kegagalan negara seperti Sri Lanka, Indonesia tetap berada dalam lajur pemulihan ekonomi yang positif pasca pandemi. 

Beberapa analisis ekonom menyebut kita tengah mengalami blessing in disguise atau berkah terselubung di tengah ketidakpastian global. 

Hal tersebut dibuktikan dengan realisasi penerimaan negara yang masih bertengger di angka surplus. 

Mengacu kepada rilis Menteri Keuangan tentang perkembangan APBN (27/07), surplus APBN kita mencapai 73.6 triliun rupiah yang setara dengan 0,39 persen Produk Domestik Bruto (PDB).

Setidaknya dua hal yang mengungkit angin baik tersebut. Yakni commodity boom atau lonjakan harga komoditas dan realisasi pajak. 

Bagi negara model ekonomi ekstraktif yang mengandalkan komoditas ekspor bahan mentah, maka kehadiran commodity boom bak angin segar bagi pendapatan negara. Pasalnya, kelangkaan komoditas yang diakibatkan oleh ketidakpastian global membuat harga-harga dikerek mencapai puncaknya. 

Melesatnya penerimaan negara selama satu semester ke belakang menandai ruang fiskal kita kian longgar. Yang berarti gerak APBN untuk ekspansi kian terbuka, demikian pun disiplin fiskal menuju defisit APBN 3 persen PDB menemukan jalannya.

Namun, tidak ada yang abadi. No party that never ends, tak ada pesta yang abadi. Pesta lonjakan harga tidak akan selamanya di atas angin. 

Era boom komoditas akan menunjukkan tanda-tanda melandai. Di saat bersamaan, windfall tax sebagai salah satu penggerak penerimaan negara sepanjang pandemi, akan berada pada tren penurunan. 

Wajar bila muncul sedikit kekhawatiran akan melonggarnya isi dompet APBN kita seiring menurunnya harga komoditas global. 

Sebagai catatan, data dari Trending Economics (07/2022) menyebutkan empat komponen komoditas yakni energi, logam, pertanian dan ternak rata-rata mengalami sinyal penurunan harga.

Tren tersebut dipicu oleh global demand yang masih lesu. Kinerja PDB perekonomian utama dunia, seperti Amerika Serikat serta beberapa negara Uni Eropa, semakin mendekati jurang resesi. 

Tidak hanya itu, keberlanjutan eskalasi krisis Ukraina yang memicu macetnya rantai pasok global, hingga kebijakan moneter hawkish negara-negara berpengaruh, membuat daya beli global terus mengendur. 

Sehingga gejolak eksternal terhadap ekonomi domestik tidak bisa terhindari. Itulah mengapa, para ekonom senantiasa mengingatkan, betapa APBN tetap berfungsi sebagai shock absorber atas beragam benturan ekonomi yang telah terjadi dan akan terjadi. Sehingga, kesinambungan fiskal menjadi juru selamat untuk melewati ketidakpastian global.

Kesinambungan Fiskal

stabilitas.id
stabilitas.id

Pandemi membuat banyak negara, termasuk Indonesia, menerapkan kebijakan fiskal diskresioner (discretionary fiscal policy) yang memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk menggunakan hak diskresi dalam belanja pemerintah dan atau penerimaan pajak. 

Diskresi fiskal diwujudkan dalam bentuk countercyclical policy atau kebijakan kontraksiklikal. Kemampuan belanja masyarakat digenjot dan insentif pajak ditebar pada dunia usaha. 

Sebaliknya, ketika kondisi sedang stabil dan PDB cenderung ekspansif, diskresi fiskal cenderung procyclical atau prosiklis. Mulai dari pengetatan fiskal, belanja diefisiensikan, dan pajak terus melambung.

Refleksi atas kondisi dalam negeri, kesinambungan fiskal Indonesia dapat terus terjaga lantaran commodity boom dan penerimaan pajak. 

Bila kenaikan harga komoditas berada pada titik jenuh, maka untuk mengamankan ruang fiskal kita, penerimaan negara atas pajak harus dioptimalkan. 

Dengan asumsi nilai moneter PDB sebesar 18 ribu triliun rupiah di tahun 2022, maka sejatinya penerimaan pajak dapat didorong lebih tinggi, berbanding lurus dengan kue ekonomi (PDB) yang terus membesar.

Untuk itu, sumber utama penerimaan negara, seperti pajak, harus benar-benar direformasi. Termasuk modernisasi sistem perpajakan agar lebih sederhana, terintegrasi, dan peningkatan literasi publik dalam upaya menumbuhkan kesadaran wajib pajak. 

Pasca lonjakan penerimaan negara karena commodity boom, tantangan konsolidasi dan kesinambungan fiskal sudah menunggu kita. 

Bagi para ekonom, mereformasi sumber utama penerimaan negara yang berkelanjutan menjadi pilihan satu-satunya. Hanya inilah satu-satunya kepastian dalam menjaga kesinambungan fiskal pasca commodity boom.

Pada akhirnya, mari mengingat kembali apa yang disampaikan oleh George Bernard Shaw, "Taxes are the chief of business of a conqueror of the world." Pajak adalah bisnis utama penakluk dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun