Agaknya sudah menjadi rahasia umum, bila selain tenaga hidro dan panas bumi, energi terbarukan masih dibekap oleh masalah intermitensi.Â
Yakni, keberadaan jeda yang membuat alat tidak bisa memproduksi energi bersih. Seperti solar panel ketika cuaca mendung atau pun malam hari, hingga kincir angin yang berhenti berputar lantaran ketiadaan angin.
Sehingga intervensi teknologi menjadi kunci. Dibutuhkan teknologi penyimpanan daya listrik yang efisien dan berbiaya murah.Â
Di lain sisi, kita juga butuh dana yang tidak sedikit untuk memensiunkan 5,500 MW daya PLTU dan diganti dengan energi terbarukan dalam delapan tahun ke depan.Â
Mengacu rencana Pemerintah, setidaknya dibutuhkan anggara USD 20 miliar -- USD 30 miliar. Tentu, akan diperlukan dana yang lebih besar guna menggaransi Indonesia benar-benar mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060.
Mungkin teknologi hanya perkara waktu, sementara pendanaan untuk transisi energi pun terus menuai respon yang positif. Dukungan lembaga keuangan baik dalam maupun luar negeri pun terus berdatangan.Â
Bagaimanapun, Indonesia tergolong beruntung karena diberkahi sumber kekayaan batubara dan energi terbarukan yang sama melimpahnya.Â
Kini bola berada di tangan regulator, apakah memilih melakukan akselerasi di bidang energi terbarukan atau justru menunggu cadangan batubara terjual habis atas nama devisa? Mari berharap agar keduanya berjalan secara simultan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H