Fenomena tersebut agaknya menjadi sebuah pertanda, bahwa negara-negara yang dikenal teguh bersikap untuk menghapus energi kotor, nyatanya masih terkena sihir batubara.Â
Masuk akal, bagaimanapun ketiadaan pasokan energi akan menghentikan segala aktivitas ekonomi.
Lain cerita di Indonesia. Ada atau tidaknya krisis Rusia-Ukraina tidak mempengaruhi tingginya ketergantungan Indonesia terhadap batubara. Tercatat dalam porsi bauran energi primer pembangkit listrik, sebesar 65.93% dipasok oleh batubara.Â
Sementara sumber energi terbarukan masih macet di angka 12.73%. Pemerintah Indonesia sendiri sudah berikrar akan mencapai target emisi nol bersih (bebas emisi pembakaran energi fosil di power plant) pada tahun 2060.Â
Salah satu instrument undang-undang yang mendukung misi mulia tersebut adalah Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. 30% porsi batubara pada 2025 dan pada tahun 2050 peran batubara menjadi 25% saja.
Tidak hanya menjaga Indonesia tetap menyala, sihir batubara turut menjadi dewa penolong terhadap neraca perdagangan Indonesia.Â
Ekspor komoditi tambang batubara, di samping minyak kelapa sawit (CPO), turut mengerek neraca perdagangan menjadi surplus dalam beberapa waktu belakangan, seiring melonjaknya harga dua komoditas tersebut di pasar Internasional.
Apakah ada cara agar kita bisa terlepas dari sihir batubara? Hemat saya, sebagai sebuah komoditas perdagangan, sah-sah saja karena turut menyokong devisa negara.Â
Namun, dalam konteks komitmen kita terhadap target emisi nol bersih, kita harus mengurangi ketergantungan terhadap batubara.
Setidaknya ada dua pekerjaan rumah untuk mencapai emisi nol bersih 2060 atau malah bisa lebih cepat, yakni aspek teknologi dan pendanaan.Â