Layaknya minyak dan air, sains dan politik seolah entitas yang tidak pernah menyatu. Padahal, selama berjalannya sejarah manusia, keduanya memiliki hubungan yang tidak terpisahkan.Â
Para saintis memiliki hak untuk menjadi algojo, apakah sebuah peristiwa yang mengancam peradaban manusia dapat divalidasi secara ilmiah. Sayangnya, seperti satire film-film barat, bencana umat manusia senantiasa diawali oleh para penguasa yang tidak mengindahkan peringatan para ilmuwan.
Barangkali masih lekat di ingatan, hampir tiga tahun yang lalu, awal dari virus yang memporak-porandakan kehidupan manusia. Ironisnya, pendapat para epidemiolog justru menjadi bahan becandaan para pejabat kita. Tidak susah untuk menelusuri jejak digitalnya. Akibatnya, sains dan politik kembali mengalami kegagalan interaksi yang berujung pandemi.Â
Ada satu film menarik di Netflix, Don't Look Up (2021) yang dengan sangat elegan menyindir hubungan rumit antara sains dan politik. Pertanyaannya kemudian, mengapa hubungan sains dan politik lebih banyak bertemu jalan buntu?
Seorang Profesor dari Indiana University, Thomas F Gieryn pada 1983 mencoba memahami batasan sains dan politik yang kerap kali hadir. Mengapa akademisi maupun ilmuwan sering tidak mendapatkan kepercayaan sehingga bermuara pada hadirnya batasan yang memisahkan. Dan faktor perbedaan ideologi-lah yang menjadi biang utama yang melahirkan batas bagi akademisi maupun ilmuwan untuk berinteraksi dengan para pemangku kebijakan. Profesor Gieryn menyebutnya sebagai boundary work atau batas kerja.
Apabila kita menilik sejarah, memang, agaknya kehadiran batas antara sains dan politik dianggap sebagai hal yang lumrah. Padahal, risiko besar senantiasa mengancam keberlangsungan umat manusia, bila kebijakan yang diambil oleh para penguasa terlambat atau bahkan tidak nyambung dengan kebenaran ilmiah atas bahaya yang telah lama diperingatkan para akademisi.Â
Guna menutup celah tersebut, Associate professor - Institute for Science in Society Radboud University, Netherlands, Willem Halffman mengusulkan TOP model sebagai sebuah alat untuk meruntuhkan batasan tersebut.
TOP model adalah representasi dari Text, Object, and People. Tiga medium pendekatan yang potensial untuk membangun interaksi sains dan politik. Text adalah medium berupa bahasa. Membumikan bahasa agar lebih mudah dipahami adalah kunci dalam mengkomunikasikan sains.Â
Itulah mengapa, skill komunikasi sains sangat penting untuk dikuasai oleh para akademisi maupun saintis. Karena seringkali kita terjebak dalam penggunaan bahasa "langit" oleh akademisi yang berujung pada ketidakpercayaan publik maupun pemangku kebijakan.
Medium selanjutnya adalah object, bisa dipahami sebagai komponen sains yang dapat dipahami oleh lintas kelompok keilmuan. Seperti citra satelit ketika ada asteroid yang mengancam bumi. Bagaimanapun, seeing is believing, manusia cenderung akan percaya bila melihat bukti empiris yang tertuang dalam medium object.
Dan bila medium teks maupun obyek belum juga berhasil, kita perlu untuk menggunakan medium people. Halffman menjelaskan, sosok "orang" yang bekerja dalam dua dunia (sains dan politik) berpeluang untuk memiliki kontribusi yang besar dalam peruntuhan batas sains dan politik. Karena ia dapat menjadi penjembatan antara dunia yang berasaskan kebenaran ilmiah dengan dunia penuh persilatan lidah.
Pada akhirnya, meninggalkan ego sektoral dapat menjadi awal yang bagus, guna membangun kembali jembatan antara sains dan politik. Saling menghargai dan tanpa saling merendahkan turut menjadi kultur yang harus dibangun.Agar, penanganan kejadian pandemi atau bencana kemanusiaan serupa di masa depan dapat lebih ditangani dengan baik.Â
Bagaimanapun, ikonsistensi kebijakan yang kita alami sekarang adalah wujud dari kegagalan interaksi antara sains dan politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H