Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Penulis - Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Melawan Kemustahilan "Indonesia Net Zero Emission 2050"

6 September 2021   22:02 Diperbarui: 6 September 2021   22:01 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Glen via Energy Innovation Co-operative

27 Juli kemarin, kantor Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat menyita perhatian warga dunia maya. Hal tersebut tak lepas dari pidato sambutan yang dibawakan oleh Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, "But what happens -- what happens in Indonesia if the projections are correct that, in the next 10 years, they may have to move their capital because they're going to be underwater?"

Cuplikan tersebut berada di paragraf ke-52 dari setidaknya 74 paragraf pidato yang dirilis oleh laman resmi The White House. 

Secara jelas, Biden menyebut prediksi tenggelamnya Ibu kota Indonesia, Jakarta di tahun 2030 kelak. 

Beberapa pengamat geopolitik menyikapi ini sebagai pesan tersirat atas meningkatnya tensi perang pengaruh antara China dan Amerika di kawasan ASEAN. 

Terlepas dari intrik politik antar kedua kutub negara adidaya, hendaknya pesan Biden dimaknai sebagai sebuah pesan peringatan.

Sejatinya, permodelan Jakarta tenggelam hingga Monumen Nasional yang karam oleh air laut sudah mengemuka di tahun-tahun sebelumnya. 

Eksploitasi air tanah yang berlebihan ditambah naiknya tinggi muka air laut menjadi fakta tak terbantahkan, bahwa peristiwa mengerikan itu tidak hanya sekadar fiksi.

Robert E Kopp, et al (2014) turut melakukan proyeksi terhadap kenaikan air laut global. Hasilnya, air laut akan naik hingga 33 cm di tahun 2050. Total 199 kabupaten dan 21 Ibu kota Provinsi milik Indonesia dipastikan tenggelam dengan kerugian mencapai 1.576 triliun rupiah.

Potret "kiamat" tersebut hanya bagian kecil dari krisis multi dimensi yang membekap manusia semenjak awal abad 21. Hal tersebut dipicu oleh kenaikan suhu global yang menghadirkan anomali perubahan iklim. Tentu, biang utamanya adalah produksi polusi karbon berlebihan yang membungkus atmosfer bumi. Dan sektor energi kotor berbasis batu bara masih menjadi pengotor langit terbesar.

Untungnya, bocoran kabar mengerikan dari masa depan tersebut masih bisa kita belokkan. Pemerintah Indonesia terus mendorong upaya untuk menghambat kiamat iklim. 

Seperti meratifikasi Paris Agreement 2015 yang diwujudkan dengan UU No. 16 tahun 2016 dengan target Nationally Determination Carbon (NDC) penurunan gas rumah kaca sebesar 29% dan 41% dengan bantun internasional. 

Hingga yang terbaru, pengesahan PP No. 55 tahun 2019 untuk mengakselerasi pengembangan Battery Electric Vehicles (BEV) di Indonesia. Demi tercapainya net zero emission, momen di mana kita tidak lagi melihat polusi karbon berlebih di udara.

Melawan Kemustahilan

Indonesia sendiri menargetkan emisi nol karbon pada tahun 2070 dengan tahun 2050 sebagai titik peralihannya. Beberapa pengamat menyebut, target Indonesia tidak begitu ambisius. 

Mari bandingkan dengan negara tetangga, Malaysia, mereka berambisi mencapai net zero emission di tahun 2050. Entah sudah berapa daerah yang tenggelam lantaran keterlambatan penanganan.

Pemerintah tentu memiliki banyak pertimbangan sebagai dasar untuk menggambar peta jalan net zero emission Indonesia. Dari aspek produksi energi, alasan mendasar adalah terkait cadangan batubara yang masih melimpah serta kontrak dengan korporasi ekstraksi. 

Terlampau banyak kegiatan business as usual (BAU) yang masih terjadi, sehingga produksi listrik dari energi kotor masih terus berjalan. Sehingga, banyak yang beranggapan net zero emission 2050 sebagai sebuah kemustahilan. 

Sementara percepatan produksi energi bersih serta transisi baru terbarukan sekadar pemanis kontestasi penguasa lima tahunan. 

Gambar 1 dapat menjadi justifikasi betapa batu bara masih menghiasi produksi energi kotor kita hingga 2050.

Gambar 1. Proyeksi perbandingan penggunaan batu bara dibandingkan dengan sumber energi lainnya (IESR, 2021)
Gambar 1. Proyeksi perbandingan penggunaan batu bara dibandingkan dengan sumber energi lainnya (IESR, 2021)

Benarkah sedemikian muramnya peta jalan net zero emission kita? Mari sejenak mencermati sebuah laporan yang berjudul Deep Decarbonization of Indonesia's Energy System yang dirilis oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) baru-baru ini. Dokumen tersebut membawa optimisme bahwa secara fakta, net zero emission di Indonesia dapat dicapai lebih cepat 20 tahun dari target semula di tahun 2050.

Ada empat pilar yang harus terpenuhi; energi terbarukan, elektrifikasi, penurunan energi fosil, dan penggunaan bahan bakar bersih (clean fuel). Empat aspek penting tersebut semuanya berkaitan dengan produksi energi rendah emisi. Peta jalan tersebut kemudian dibagi menjadi tiga tahap seperti pada gambar 2.

Gambar 2. Peta jalan net zero emission 2050 (IESR, 2021)
Gambar 2. Peta jalan net zero emission 2050 (IESR, 2021)
Secara garis besar, skema tersebut menjadikan energi bersih sebagai mesin pendorong utama untuk mewujudkan net zero emission 2050. 

Tentu sembari terus menekan penggunaan batu bara sebagai "pelumas" kegiatan ekonomi. Satu energi terbarukan yang sangat menjanjikan di Indonesia adalah tenaga surya. 

Bila laporan Kementrian Energi Sumber Daya Manusia (ESDM) menyebut potensi tenaga surya kita hanya 207 Gigawatt per tahun, nyatanya analisis IESR justru mengungkap lebih banyak potensi dengan total 20.000 Gigawatt per tahun. 

Bak gayung bersambut, harga power purchase agreement (PPA) untuk panel surya di Indonesia terus melandai (gambar 3). Tren serupa juga terjadi di beberapa negara seperti ditunjukkan pada gambar 4.

Gambar 3. Harga power purchase agreement (PPA) PLTS di Indonesia(IESR, 2020)
Gambar 3. Harga power purchase agreement (PPA) PLTS di Indonesia(IESR, 2020)

Gambar 4. Harga Solar PV di beberapa negara (Climate Action, 2020)
Gambar 4. Harga Solar PV di beberapa negara (Climate Action, 2020)

Tentu, musuh dari teknologi panel surya adalah intermitensi. Sel surya mendadak berhenti memanen energi matahari ketika mendung atau malam tiba. Sehingga dibutuhkan energy storage seperti baterai untuk menyimpan energi listrik yang dihasilkan. 

Yuval Noah Harari di bukunya yang berjudul Homo Deus menyebut bahwa dua hal yang menjadi pencarian manusia adalah data storage dan energy storage. Hal ini seolah menjadi justifikasi betapa pentingnya teknologi baterai untuk menopang keberlanjutan dari energi baru terbarukan yang rendah karbon.

Apalagi, Indonesia telah dititipi oleh Tuhan sebagai pemilik sumber daya nikel terbesar di dunia. Mineral ini menjadi material terpenting dalam pengembangan baterai lithium ion yang akan menguasai pasar energy storage dunia. Sehingga, kita tidak hanya bisa mencapai net zero emission 2050, tetapi Indonesia juga berpotensi untuk menjadi pemain dalam industri energi terbarukan global, yang pastinya membuka lebih banyak lapangan pekerjaan serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Fajar Perubahan

Melihat beragam data dan fakta di atas, terlampau aneh bila kita masih menemukan suara sumbang terkait transisi energi terbarukan rendah karbon. 

Sejauh ini, agenda pemerintah dari sektor energi bersih masih belum terlalu ambisius, seperti halnya penetapan target net zero emission 2070. 

Seolah memunculkan pesan pesimistis bahwa kita tidak begitu mampu melakukan akselerasi untuk terlepas dari jeratan bahan bakar fosil.

Tentu, gerakan penyadaran energi bersih harus terus digaungkan. Apalagi, grass root movement untuk menumbuhkan keresahan bersama adalah hal yang efektif. Kurang lebih begitu yang ditulis oleh Naomi Klien di bukunya This Changes Everything: Capitalism vs The Climate. 

Sembari berharap hadirnya lebih banyak regulasi konkrit yang mendukung hadirnya fajar perubahan transisi energi terbarukan. Di sanalah letak perubahan yang dapat menekan produksi emisi karbon.

Dan pada akhirnya, apakah Indonesia net zero emission 2050 memang tidak realistis atau karena ketidakmampuan politis?

Bacaan lebih lanjut

Institute for Essential Services Reform. 2021. Deep Decarbonization of Indonesia's Energy System: A Pathway to Zero Emissions by 2050. IESR.

Robert E. Kopp, Radley M. Horton, Christopher M. Little, Jerry X. Mitrovica, Michael Oppenheimer, D. J. Rasmussen, Benjamin H. Strauss, Claudia Tebaldi. 2014. Probabilistic 21st and 22nd century sea-level projections at a global network of tide-gauge sites. 13 June 2014. https://doi.org/10.1002/2014EF000239

The White House. Remarks by President Biden at the Office of the Director of National Intelligence. https://www.whitehouse.gov/briefing-room/speeches-remarks/2021/07/27/remarks-by-president-biden-at-the-office-of-the-director-of-national-intelligence/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun