Mohon tunggu...
Wahyu Noliim Lestari Siregar
Wahyu Noliim Lestari Siregar Mohon Tunggu... MAHASISWA -

Jangan Takut Bermimpi, dan Lukiskanlah itu dalam Kanvas Dunia mu yang Nyata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Teologi Tuhan Mati Menurut F W Nietzshe

1 Juli 2016   07:25 Diperbarui: 2 Juli 2016   20:22 2263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teori kembalinya yang sama secara  abadi itu erat hubungannya dengan penolakan Nietzsche terhadap kenyataan transenden yang melampaui dunia ini, misalnya ide Allah dalam monoteisme. Dunia ini senantiasa menjadi (Werden), dan tak ada suatu ada (Sein) yang berada di luar proses itu sebagai tujuannya Yang secara abadi kembali adalah “yang sama” dan hal ini sekurang-kurangnya memiliki dua arti. Pertama, tidak ada Allah pencipta, tak ada Sein yang kreatif di luar dunia ini. Kedua, tidak ada kebakaan pribadi yang melampaui dunia ini, misalnya dalam bentuk dunia akhirat (surga atau neraka).

c. Kematian Allah dan Nihilisme

Kematian Allah

Titik awal Nietzsche adalah ketiadaan Allah. Di dalam kutipan The Joyful Wisdom (1882) berikut, ia memberikan pernyataan puitis yang kuat mengenai ateismenya:

Yang paling penting dari peristiwa-peristiwa akhir-akhir ini – bahwa “Allah telah mati”, bahkan kepercayaan akan Allah Kristen telah menjadi kepercayaan yang tidak berharga – telah menyelimuti Eropa... Kenyataannya, kita para filsuf dan “yang bersemangat merdeka” merasa diri kita diterangi dengan rasa syukur, kagum, firasat, dan penuh dengan harapan. Akhirnya cakrawala kelihatan terbuka sekali lagi, bahkan seandainya pun tidak terlalu cerah; kapal kita akhirnya dapat mengarungi samudra untuk menghadapi setiap bahaya; setiap bahaya dimungkinkan bagi penyelidik; samudra, samudra kita, kembali terbentang di depan kita; mungkin samudra yang begitu “terbuka” dan belum pernah ada sebelumnya.

Bagi Nietzsche, kepercayaan akan Allah mempermiskin kehidupan manusia. “Kematian Allah” berarti kemanusiaan tidak lagi didukung oleh kebijaksanaan ilahi. Yang adikodrat telah lenyap karena tidak ada lagi tempat baginya. Nietzsche merasakan bahwa agama secara umum, khususnya Kristen, bertanggung jawab atas melemahnya kondisi umat manusia di zaman modern. Dalam Human, All Too Human, agama dikarekteristikkan sebagai usaha yang tidak alami untuk menginterpretasikan pengalaman kita. Dan dalam The Gay Science, dalam salah satu aforisme yang paling keras dia menyatakan tentang kematian Tuhan. Dalam Beyond Good and Evil, dia menyatakan bahwa ajaran Kristen merepresentasikan ‘bunuh diri nalar yang tidak pernah berhenti”, dan menganggapnya berasal dari pemberontakan para budak di Timur terhadap kekuasaan Romawi.

Agama Kristen mengarahkan kita pada ‘degenerasi ras Eropa’ dan persistensi keyakinan Kristen merupakan tanda bahwa manusia belum berkembang menuju makhluk yang cukup kuat untuk dapat mencapai jenis kemuliaan diri dari jiwa yang diimpikan oleh Nietzsche. Karena Allah telah mati, maka kemanusiaan harus jalan terus sendirian. Karena Allah tidak ada, maka kita harus membentuk hidup kita dengan keras. Kecaman terhadap ajaran Kristen ini diikuti dengan sebuah bagian yang memuat 125 epigram  atau aphorisme yang lebih pendek.

Oleh karena agama Kristen itu kelanjutan agama Yahudi maka agama Kristen menjadi lambang pemutarbalikan nilai-nilai. Sebab yang dipandang sebagai jiwa Kristiani ialah penolakan terhadap segala yang alami karena semua itu dianggap tidak layak. Ia ingin menghentikan gagasan Kristen tersebut dengan maksud agar umat manusia dibebaskan dari kesewenang-wenangan Tuhan dan dikembalikan menjadi orang-orang yang kreatif di bidang kebudayaan. Ide Allah dalam agama Kristen, menurut Nietzsche, memusuhi dan memerangi kehidupan dan alam, mengebiri daya-daya vital kita. Dalam arti ini Nietzsche menganggap agama Kristen sebagai vampirisme. Tuhan yang mengira telah menciptakan manusia serta telah menciptakannya kembali menjadi gambar-Nya, Tuhan ini harus mati. Dengan kematian Allah terbukalah horison seluas-luasnya bagi segala energi kreatif untuk berkembang penuh. Sebab Ia terlalu banyak mencampuri urusan manusia. Manusia harus dikembalikan menjadi “superman” (Ubermensch), yang mempunyai kehendak untuk menguasai dunia secara sempurna. Manusia yang telah diperbudak oleh Tuhan itu harus membalas dendamnya dan membunuhNya. Tuhan harus mati supaya manusia dapat mencapai apa yang sebenarnya harus dicapai, yaitu pencipta kebudayaan yang tanpa batas.

Dalam bentuk yang paling akhir, perkataan “Tuhan mati” dimaksudkan bahwa Allah tidak lagi hidup sebagai objek yang realita sebagaimana sebelumnya. Kematiannya merupakan peristiwa budaya sebagaimana yang kita sadari. Oleh karena itu, Nietzsche merasa bahwa semangat pada zamannya sudah tidak ada lagi ditemukan ide bahwa Allah itu nyata. Kemudian dia, menyimpulkan bahwa “Allah telah mati; Allah tetap mati, dan kitalah yang telah membunuhNya”.

Nihilisme

Keadaan manusia tanpa Allah adalah kemerdekaan mutlak, namun dengan kematian Allah itu juga membuat manusia kehilangan arah, sendirian dan kesepian. Kekosongan seperti lautan yang begitu luas yang disebut ‘nihilisme’ menandakan keadaan itu. Nihilisme adalah suatu keadaan tanpa makna, hilangnya kepercayaan akan nilai-nilai yang berlaku dalam agama Kristen akibat “Kematian Allah” itu. Hilangnya kepercayaan itu akhirnya juga menghilangkan kepercayaan manusia pada segala nilai. Ada dua jenis nihilisme, yaitu ‘nihilisme pasif’ adalah persetujuan yang bersifat pesimistis bahwa nilai-nilai itu tidak ada dan hidup ini tanpa tujuan dan ‘nihilisme aktif’ adalah sikap setuju (sukacita) akan hilangnya nilai-nilai dan makna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun