Saat saya melihat orang lain yang setiap hari, terus bekerja, dan berusaha untuk terus menggali apa yang saya sebut sebagai “potensi” untuk mengembangkan kualitas dan kapasitas diri mereka, saya tersadar, bahwa saya teramat bodoh untuk terus meratapi nasib. Hanya orang bodoh yang terus saja menyesali mengapa dirinya bisa terjatuh, dan tidak ada usaha untuk bangkit kembali.
Dunia ini, telah diciptakan Tuhan, dengan segala akurasi dan presisi yang sangat tidak mungkin meleset, dunia ini, telah diciptakan Tuhan tetap dan akan terus berada pada kondisi default nya. Lantas mengapa kita terus saja menginginkan sebuah mimpi besar untuk “mengubah dunia”. Setidaknya itulah apa yang tersirat dari apa yang dosen saya katakan.
Saya percaya bahwa peluang untuk terus melanjutkan hidup, akan terus ada selama kita mau terus berusaha. Dunia ini begitu teramat sempit bagi orang-orang yang secara sadar ataupun tidak, menyempitkan pikiran-pikiran mereka, dunia ini sempit kawan, jangan biarkan dunia ini terus menyempit dengan menyempitkan pikiran-pikiran kalian. Terbukalah terhadap segala sesuatu yang ada, terbukalah terhadap segala perbedaan, terbukalah terhadap setiap perubahan.
“Pikiran bersifat magnetis, dan pikiran memiliki frekuensi. Ketika Anda memikirkan pikiran-pikiran, pikiran-pikiran itu dikirim ke Semesta, dan secara magnetis pikiran akan menarik semua hal serupa yang berada di frekuensi yang sama. Segala sesuatu yang dikirim ke luar, akan kembali ke sumbernya – Anda.” (Byrne, 2006)
Pikiran Anda, menentukan kualitas pribadi Anda, keterbukaan Anda terhadap setiap fenomena alam, menunjukkan kepantasan Anda untuk disebut sebagai makhluk berakal, pikiran Anda, adalah yang paling berharga (setidaknya menurut saya) yang telah dianugerahkan Tuhan, untuk dipergunakan sebagaimana yang seharusnya. Ada fenomena menarik yang saya temui beberapa minggu belakangan ini, Epigon. Epigon secara etimologi berasal dari bahasa Latin, yaitu epigonos atau epigignestai yang artinya terlahir kemudian. Dan menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, epigon berarti orang yang tidak memiliki gagasan baru dan hanya mengikuti jejak orang yang mendahuluinya. Jika saya diizinkan untuk menyederhanakannya, Epigon adalah orang-orang yang tidak mampu untuk mempergunakan kemampuan berpikirnya, untuk berpikir lebih jauh terhadap apa yang ada didepan mereka. Mereka terlalu sibuk untuk menganga, mendengarkan segala apa yang mereka tangkap dari indera pendengaran mereka, tanpa berpkir lebih jauh, hanya ngikut saja. Ya, hidup adalah sebuah plihan memang, tapi memilih menjadi Epigon adalah hal yang paling menyedihkan (bagi saya pribadi), tidak mempergunakan akal dan pikiran yang telah dianugerahkan Tuhan, dan menyia-nyiakan hal itu, dari yang seharusnya mereka bisa lebih cerdas dalam meretas jalan hidup,hingga membuka apa yang saya sebut sebagai sebuah “hidup” karena kecerdasan itu, tidak dianugerahkan Tuhan secara cuma-cuma, dan kecerdasan itu, datang bukan hanya sekedar takdir, dari tangan-tangan Tuhan diatas sana.
“...Berpikirlah dengan benar, pikiranmu akan memberi makan kelaparan dunia...” Horatio Bonar (1808-1889)
Berbicara mengenai penggunaan pikiran. Sepertinya benar apa yang dikatakan salah satu teman saya, bahwa selama 5 semester ia mengenal saya, saya adalah orang yang paling banyak memiliki “kisah”. Tapi, sejujurnya, saya sangat menikmati itu semua, berjalan, dan menjalani hidup seperti ini, membuat saya semakin yakin bahwa Tuhan, telah menyiapkan rencana beliau yang begitu indah, diujung jalan sana, dan apa sebenarnya yang membuat saya bisa “bertahan” dari itu semua?.
“...Every single pain will make you stronger and stronger. You do not need to sit in a class to learn how to be stronger. Just make a deal with them. You'll learn what so called a core module namely ‘lesson of life’...". (Fitriana, 2011)
Seperti salah satu kalimat indah dari salah satu rekan terbaik saya diatas, saya percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi dialam ini, memiliki alasan untuk dapat terjadi, dan saya yakini pula bahwa, pelajaran tentang hidup, tidak akan Anda dapatkan ketika kalian tidak melakukan apapun, dari setiap “kisah” hidup yang saya alami, ada mozaik – mozaik indah yang diselipkan Tuhan untuk saya pelajari, menjadi suatu kesatuan yang utuh, dan jika Anda bertanya, mengapa saya bisa melakukannya, sederhana, karena saya (hanya) berusaha memanfaatkan kekuatan terbesar yang Tuhan berikan pada saya, yaitu berpikir.
“...Cogito Ergo Sum...”
“...I think, therefore I am..”